Tuesday, November 12, 2019

Do You Worth a Perfect Life?

Sometimes we dream of a perfect life. Not just a dream, but sometimes you already think of the steps you would do to achieve it. You read, you make list, you plan. You know What, Why, When, Where, Who, How, to make it happen.
Like, you know the perfect way, you get up, pray, take bath, cook healthy for family, do chores, power nap, be productive, make money, sexy time, educate children, inspiring people, change the world!
Perfect body, perfect family, perfect house, perfect bookshelf, perfect vacation. You know exactly the steps, the way. BUT you just don't do it.
You know exactly the dream of perfect life can be achieved. You know it, but you just don't do it.
So how do you deserve that perfect life?

Wednesday, October 30, 2019

Disonansi Ibu-Ibu Millennial

Anak millenial itu pinter2 loh. Wajar soalnya orangtuanya berusaha untuk menyekolahkan anaknya hingga jenjang tinggi baik S1 maupun S2. Pasti lebih kritis, lebih conscious dan berwawasan luas dan terkini.

Masalahnya, saat anak2 millennial ini berubah jadi IBU Millennial, dia malah dicekoki 'ilmu turun temurun" mengenai parenting atau perawatan anak. Salah atau benar nya lihat di mana? Let's see..

Bagi ibu2 millennial yang sudah sekolah tinggi2, pasti gak afdol utk melakukan suatu hal tanpa BACA atau RISET terlebih dahulu. Apalagi soal pengasuhan anak. Apalagi jaman ini canggih, tinggal googling, tinggal beli buku online dikirim besok sampai, atau malah beli e-book aja tinggal click Bayar.
Tapi, bagi orangtuanya ibu2 millennial, pengalaman adalah guru terbaik.

Masalahnya, ilmu yang didapatkan oleh ibu2 ini, di banyak kesempatan tidak cocok dengan ilmu dari pengalaman orangtuanya. Apalagi yang berbau mitos. Tentunya ibu millennial ini mempertanyakan kebenaran dari 'ilmu' yang dipaparkan orangtuanya. Bukan serta merta merendahkan, tapi lebih ke cross-check dari ilmu terkini dan tentunya cross-check dengan hati nurani ibu.

Di sini terjadi disonansi. Alias kegalauan. Hehe
Do i believe this? Will i do it to my child? Is it right?

Nah masalah kemudian, terkadang ketika pihak orangtua ibu millennial merasa ilmunya tidak dipilih/dipakai, jadi malah merasa tersinggung, terhakimi, merasa dibodohi. Ibaratnya "lah berarti selama ini lu blg parenting gw salah?" Jadilah kami, ibu millennial di judge sok tau, gak bersyukur, ga menghargai, dsb dsb. Ujung2nya malah seringkali dipaksa untuk mengikuti 'ajarannya'.

Sebagai ibu millennial yang sayang orangtua, pastinya takut dong kualat kalo melawan orangtua? Akhirnya terkadang melakukan anjuran orangtua yang sebenarnya dalam hati tidak diyakini kebenarannya. Kadang tetep gak dilakukan kalau lagi gak bareng, gitu lah. Jadi, buat nyenengin aja biar ga dosa.

Jadi, siapa yang benar, siapa yang salah? Hmm yaa tergantung perspektif.

Well, itu cerita salah satu disonansi Ibu Millennial, yg kritis dan kebanjiran informasi terkini soal pengasuhan anak, tapi memiliki beban rasa syukur telah disekolahkan dengan baik oleh orangtua sehingga mau gak mau harus nurut dengan orangtua.

NB: Ini Ibu Millennial budaya timur ya hehe.

Wednesday, October 9, 2019

Pak, Bu, Kenapa Sih Ajak Anak Nonton Joker?

Sekarang ini lagi trending film Joker, film tentang kehidupan psikopat yang biasanya muncul di film Batman. Film ini memiliki rating 17+ alias rated R (Restricted). Lalu, banyak yang bilang film ini terlalu 'gelap' dari sisi psikologis sehingga muncul ketidaknyamanan, sehingga ada peringatan tidak resmi dari netizen untuk jangan ditonton oleh orang yang sedang depresi, atau sedang tidak dalam kondisi mental yang baik. Untuk berusia usia 17 tahun pun katanya disarankan untuk dibimbing saat menonton film ini (apalagi di Indonesia yang biasanya Mental Age anak usia 17 tahun masih kayak ABG labil)

Herannya di Indonesia, di studio di mana film Joker ditayangkan, banyak anak kecil dari balita sampai anak SD banyak yang hadir. I was like, please lah bapak ibu, emangnya dipikir anaknya belum ngerti apa2 meski usianya 3 tahun? Emang yakin anaknya yang SMP SMA udang 'mateng' secara mental untuk nonton film tanpa dibimbing? Emang yakin anaknya ga bakal jadi psikopat atau nyerap apapun hal negatif yang ditunjukkan Joker?

Emang siapa sih yang salah, orangtua atau pihak bioskop yang tidak tegas terhadap aturan rating film?

Aku bilang, dua duanya dong! Jangan asal nyalah2in pihak lain.

Pasti, akan lebih mudah bila adanya aturan yang tegas dari pihak berwenang yakni bioskop untuk menolak apabila ada yang belum cukup umur. Kalo perlu mah sampai nunjukkin KTP kalau yang dirasa ga sesuai usia (kalo di luar negeri gitu tuh soalnya kadang mukanya tua tapi ternyata belom 17 taun wkwk)

Tapi, ya sudah kalo negara ini belum maju, orangtua lebih maju dong. Tegas sama anaknya sendiri. Jangan asal ajak2 anak karena ga pingin ketinggalan film, tapi mengorbankan perkembangan psikis anak. Serius lho kalau anak ga bisa nangkap dengan baik, kalo ga dibimbing, bener2 bisa jadi psikopat kayak Joker! Anak2 itu pintar, jangan anggap anak bakal lupa atau tinggal dibilangin aja "jangan ditiru ya nak", tidak semudah itu Ferguso!

Hal ini sebenernya ga hanya terjadi saat ini aja di film Joker. Udah dari duluuu film film dewasa bisa ditonton anak kecil. Aku ngalamin loh, pas SMP diajak nonton sama temen2 film horor sexy Indonesia gitu (guilty i know). Anyway, bukan salah orangtuaku, karena mereka ga tau, aku yang bandel ga bilang2 kalau aku ke bioskop. Padahal dulu ke bioskop masih pake rok SMP, tapi segitu gak ada larangannya di bioskop.

Ga usah jauh2 di bioskop deh, di TV di rumah juga sering. Sinetron-sinetron yang rating 17+ atau tayangan lain dengan rating Bimbingan Orangtua. Bahkan film dewasa juga tayang malam2 di TV. Tinggal tugas orangtua yang gimana mendidik anaknya.

Dulu sih waktu kecil (kayak usia SD-SMP gitu) aku udah disuruh bobo jam 9, kalaupun ga bisa tidur, aku nonton film box office di TV macem Titanic gitu bareng orangtua-ku. Pas adegan2 ciuman atau sexy chanel dipindahin, atau disuruh tutup mata, atau ketika film terlalu sadis. Ya well, not the best way tapi, aku jadi tau, mana yang tabu mana yang sadis atau engga, dan bagaimana reaksi yang wajarnya. Misalnya ketika nonton film yang sadis ya meringis, gak tega, bukannya jadi excited lihat orang dibunuh. Karena ya pas nonton bareng orangtua, orangtuaku bilang kayak "aduh jangan dilihat nak, serem." Atau "jahat banget ya", bukan hanya diam saja.

Lalu kemudian aku jadi tau, kalo aku lagi nonton suatu film di TV bareng adikku, aku tau mana bagian yang harus dihindari mana yang tidak, mana yang harus diberi penjelasan mana yang tidak. I'll do the same way to my kids, probably better, karena aku gak mau tertutup saat bicara soal seks dan kekerasan, tidak seperti orangtua generasi X (hehe semoga).

Aku gak tau kalau orangtua lain bagaimana, tapi banyak sih anak2 skrg yang di kamarnya ada TV sendiri. Bahkan punya smart gadget di mana bisa streaming film di gadget ya kan. Udah ga ke filter lagi itu film2. Pantas lah Indonesia ga maju2. Anak2nya keburu berpikiran 'dewasa', bahkan mungkin secara gak langsung terdidik jadi anak yang tidak stabil secara mental, karena ditontonin film2 atau tayangan yang bukan usianya, meskipun cuma sekali!

Buat kasus di bioskop ini. Please, kepada pemerintah, tegaskan, beri sanksi pada bioskop yang membolehkan penonton yang bukan usianya.
Kepada orang tua, tolong lebih bijak. Pahami rating film dan alasan kenapa anak kecil harus dibimbing saat menonton SETIAP film.

Wednesday, October 2, 2019

Privilage is Luxury

Aku punya kenalan. Aku gak bisa bilang dia siapanya aku karena pasti obvious banget. Dia bukan dari kalangan berada dan berpendidikan tinggi memang. Intinya dia punya cucu berumur 4 tahun. Anak dan menantunya harus gali lubang tutup lubang untuk kehidupan sehari-harinya, tapi yang lebih berat adalah cucunya ini tidak mau makan, hanya mau minum susu dan snack seperti wafer atau biskuit. Jadi lah setiap hari orangtuanya harus mengeluarkan 50ribu untuk membeli susu Dan*ow, dan beli snack2. Itu cuma buat anaknya aja lho. Padahal menantunya hanya tukang ojek online dan anaknya ibu rumah tangga. Dia rela hanya makan nasi dan kerupuk atau bakwan agar cucunya minum susu. Gigi cucunya sudah gripis (aku nyebutnya gitu), rusak karena sering makan makanan manis.

Wow. Jujur, ilmu tentang memberi makan anak baru aku pelajari saat babyA lahir. Ilmunya memang banyaaak sekali. Banjir. Tapi semua ilmu itu make sense. Bagaimana sebaiknya anak makan, bagaimana mengatasi kesulitan makan, dan bagaimana membiasakan anak makan bersama keluarga, makan makanan keluarga dan justru menjauhi snack dan susu yang tidak diperlukan. Dan pastinya, berdasarkan yang aku pelajari, pola makan kayak di atas itu udah salah banget. Well, mamak milenial pasti udah tau kan seharusnya yang benar gimana?

And i can do nothing about it. (Well beside a little of extra money, dan obrolan2 kecil tentang gimana membiasakan anak makan)

Bagiku, 50rb perhari itu lumayan banget, bahkan kadang bisa untuk makan aku dan suami siang dan malam, plus makan anakku. I think i'm blessed. Dengan ilmu, informasi, dengan privilage, aku justru bisa menjangkau makanan yang justru lebih murah dari cucu kenalanku itu, padahal tingkat ekonomi keluargaku jauh lebih tinggi (alhamdulillah).

Aku juga sebenernya masih struggle dengan kebiasaan makan anakku. Karena babyA BLW, jadi aku kadang masih suka stress kalau makannya berantakan, sedikit, atau buang2 makanan. Tapi aku bersyukur banget, aku punya banyak akses informasi, akses ilmu, sehingga aku tau bagaimana yang baik, bagaimana step by step, bagaimana cara agar mengatasi masalah makan, aku juga mudah untuk konsultasi ke dokter apabila ada masalah.

Privilage is a luxury.

Bersyukur sebanyak2nya apabila kita tahu informasi meski sedikit. Karena banyak di luar sana (bahkan di dekat kita) yang gak tau, karena ga punya previlage.

Tuesday, October 1, 2019

You Don't Have to Explain Anything to Anyone

Maaf ya lagi-lagi ngomongin soal ibu2. Haha maklum emang udah jadi ibu2. Melihat fenomena ibu2 milennial sekarang ini yang semua punya instagram, belum lagi hobby sharing di Instagram, social media sekarang sudah banjir sekali ilmu soal parenting. Bahkan bukan hanya ilmu sih, lebih ke pengalaman juga. Aku sebagai netizen pun kadang tertarik dengan konten yang di share beragam ibu2 mulai dari yg terkenal sampe temen sendiri.

Ketika membaca konten yang dikemukakan ibu2 sharer itu, yang aku tangkap kesannya adalah, mereka selalu menjelaskan kenapa anaknya begini, kenapa anaknya begitu, kenapa keputusannya begini, kenapa begitu. Namun dalam kesan yang bukan free-sharing, tetapi explaining. Kesan yang kutangkap itu lebih seperti, "aku melakukan hal-hal ini karena seribu alasan, so don't judge me"

Ibu-ibu sekarang kayak takut di judge karena pilihannya dalam membesarkan anak, soalnya sekarang semacam ada "standar sosial" dalam mengasuh anak yang gaktau asal mulanya dari mana. Itulah yang jadi beban ibu-ibu milenial. Kayaknya ngasuh anak harus sesuai teori, harus perfect, dan... harus dishare di sosial media. Wkwkw. Emang social media itu isinya yang perfect2 aja yakan?

Mari balik lagi ke topik. Jadi, isi dari sebagian besar ibu2 sharer itu lebih kayak pembuktian2, bahwa 'ini lho aku sudah melakukan parenting sesuai teori'. Jadi lah muncul musuh dalam selimut ya kan, yang katanya sharing jadi rada shaming. Lalu timbul mom-competition secara tidak langsung. Jadi toxic lah intinya. Auto unfollow deh, haha.

Jujur aku lebih suka sharer yang genuine, benar2 sharing pengalamannya, pembelajarannya, bahkan berani menceritakan penyesalannya dan perasaannya. Bacanya juga jadi lebih free bukan malah tertekan. Lagipula, setiap anak, setiap orangtua itu berbeda2 dan tidak semuanya harus sama dengan teori.

You are the best parent for YOUR child.

bukan anak orang lain, jadi orang lain tidak berhak menjudge kamu, keputusanmu dsb. Apalagi kalo gak ditanya! Wkw. Be free, be you.

Thursday, September 26, 2019

Lyfe After Kid

Aku pikir, setelah aku menikah itu hidupku akan berubah. Saat itu, delapan bulan belum dikaruniai anak, ternyata tidak begitu banyak perubahan yang terjadi, tidak ada apa-apanya. Lol, no offense to my husband.

Karena, hidupku baru benar-benar berubah ketika sudah punya anak. I mean, i never changed this much. Mulai dari perilaku, kebiasaan, bahkan perasaan. Waktu baru nikah, ok rasanya seperti new life, new responsibility. Tapi bagiku kayak, yaudah ngekos bareng orang lain gitu (karena aku dulu emang ngekos bareng suami), i have to share everything, share bed, budget, responsibility, etc. Tapi, aku baru sadar, aku baru paham bagaimana makna Responsibility, setelah punya anak.

Waktu baru nikah, iya sih rasanya cinta banget sama suami, but that's it. Tapi ketika punya anak, rasanya melebihi cinta. I would die for love, tapi aku ga akan mati untuk suamiku sih (lol, no offense again, beb), tapi ketika lihat anakku, oh God, i really would die for him. Romeo and Julliet are bullsh**, there's no love like that. Aku baru paham bagaimana yang namanya Love.

Aku mengerahkan semua pikiran, tenaga, dan perasaan untuk anakku. Semua kegembiraan, kekhawatiran, sayang, sebal, semua karena anakku. Pilihan bajuku, pilihan makananku, pilihan furniturku, pilihan filmku, bahkan pilihan jam tidurku, semua untuk anakku. Aku bisa egois terhadap suamiku, tapi aku ga bisa (atau gak boleh ya) egois terhadap anakku.

My life changed, my parents changed, my friends changed, even my previlages changed. Tidak pernah ada perubahan sebesar ini di dalam hidupku. And that's kinda freaks me out.

Membuatku berpikir, sebenarnya seluruh hidup kita ini untuk anak, ya gak sih? Meskipun kita belum punya anak.
Dari kecil kita disuruh sekolah agar bisa kerja dan menghidupi anak dengan layak.
Saat menikah, bukannya ditanya kabar malah ditanya anaknya mana alias "udah hamil belom?"
Abis punya anak, ya wis, bahkan eksistensi kita kalah sama eksistensi anakmu yang baru lahir ke dunia. Bahasan tentang anak akan lebih panjang daripada soal kabar kita.

Kadang aku iri sama anak-anak. Apa coba kontribusi mereka di dunia ini, tapi semua orang begitu sayang dan peduli dengan mereka, bahkan saat mereka belum ada di dunia?

Wednesday, September 25, 2019

Membandingkan Anak

Dear moms,
Tidak perlu khawatir apabila anak belum bisa merangkak, tidak perlu khawatir apabila anak belum bisa berjalan, belum bisa tepuk tangan, atau mengucapkan kata tertentu.

Begitu pula yang lain, tidak perlu sombong apabila anaknya berjalan duluan, tidak perlu pamer apabila anak bisa makan sendiri duluan, bisa bernyanyi duluan.

Nanti saat dewasa, anak ibu tidak akan ditanya oleh bos nya, atau karyawannya atau teman2nya, pada usia berapa ia bisa berjalan, pada usia berapa ia bisa makan sendiri.
None of it matters.

Mungkin memang ada kebanggaan tersendiri sebagai orangtua apabila anaknya sudah mencapai milestone tertentu. Tapi jangan sampai, perbedaan milestone anak ibu dengan anak yang lain membuat ibu memberikan "standar" nilai terhadap anak ibu. Dengan membiarkan diri ibu membuat standar tersebut, itu akan menanam kebiasaan pada diri ibu sendiri untuk selalu membanding2kan anak hingga ia besar.
Please break the chain. Anak bukan ajang lomba, ia adalah individu indipenden.

Anak ibu belum bisa jalan dari teman seusianya bukan berarti dia bodoh, anak ibu belum bisa bernyanyi seperti teman2nya bukan berarti dia tidak bisa.
Anak ibu sudah bisa berlari lebih dahulu bukan berarti ia pasti jadi bos dari teman2 lainnya, anak ibu sudah bisa bicara duluan bukan berarti ia akan selalu juara kelas.

Biarkan anak ibu, tumbuh sesuai fasenya sendiri, sesuai keinginannya sendiri. Anak ibu tidak peduli apabila ia belum bisa merangkak, atau sudah bisa berjalan. Yang ia pedulikan adalah apakah ibunya, ayahnya, orang2 sekitarnya sayang padanya, dapat ia percaya, dan selalu ada untuknya?

Sunday, September 22, 2019

Gemuk Tidak Selalu Sama Dengan Sehat

Udah lumrah banget di Indonesia. Bayi dan anak kalau gemuk itu dibilang sehat. Semakin gemuk, semakin baik, semakin sehat.

Ibu ibu pun berlomba-lomba untuk menaikkan BB anak. Anak orang gemuk langsung cari tips makanan booster berat badan anak dan stres kalau anak makannya tidak sesuai standar mereka. Padahal anaknya, normal. Masih sesuai kurva pertumbuhannya, tidak gizi buruk atau apa.

Gemuk itu bisa berarti baik, apabila, masih dalam batas tertentu. Yang dikhawatirkan, apabila orang tidak tahu atau tidak sadar ia telah melewati batas. Obsesinya begitu tinggi sehingga membutakan.

Angka obesitas anak2 selalu meningkat tiap tahunnya. Salah kaprah yang menyatakan bahwa gemuk adalah sehat sudah marak sekali. Dibilang tulangnya besar lah, hobi makan lah. Padahal, overfeeding, atau pemberian makanan tinggi lemak dan gula yang tidak baik.

Mungkin ibu bisa berbangga hati anaknya gemuk dan "sehat". Tapi anaknya mungkin saat besar akan tersesat, kesulitan mengontrol makannya, berusaha mati2an ngegym agar tubuh menjadi ideal, berusaha meningkatkan kepercayaan diri karena tubuhnya yang semakin buruk, dan lebih lagi berusaha "survive" dari segala penyakit yang menyertai kegemukannya. Diabetes, jantung, liver, belum lagi penyakit musiman yg seringkali menyerang org kegemukan. Semua itu untuk kebanggaan sementara si ibu selama si balita kecil dan gemuk.

Gemuk itu obesitas, bukan sehat.

Aku tau, kita harus mencintai diri kita apa adanya. Tapi jangan cintai diri kita yang rusak.

Gemuk itu karena apa? Kelebihan apa yang kita masukkan ke dalam tubuh. Allah swt. tidak suka manusia yang berlebih2an dan melewati batas kan?
Ya salah satunya batas Index Massa Tubuh kali ya. Huhehe

Saturday, September 21, 2019

Bye, Social Media! (Well, Most of It)

Sudah lama, aku ingin jauh dari social media. Bukan karena keinginan tapi tuntutan kali ya, jaman sekarang harus punya social media. Dulu, aku begitu FOMO (Fear of Missing Out), jadi aku punya semuaaa social media dari friendster, myspace, FB, twitter, linkedin, plurk, sampai skrg instagram. But they drove me crazy. Aku baca, terlalu banyak social media menimbulkan potensi depresi. Jadilah mulai satu persatu aku tinggalkam social mediaku. Tapi kembali lagi, karena aku FOMO, akun2 yang kutinggalkan kubiarkan saja. Manatau, akan terpakai lagi.

Aku mulai memfokuskan diri di satu sosial media, Instagram. Aku pikir ini yang paling cocok olehku, aku bisa sharing banyak tentang..apapun. Akupun baru sadar ternyata aku orangnya cenderung oversharer. Apa saja aku bisa share. Mostly unek2 sih, ya kayak isi blog ini.
Suatu hari, aku muak juga dengan instagram. Aku kepikiran untuk meninggalkannya (tapi masih sayang karena aku mulai menyukai sharing yang lebih serius), jadi aku kepikiran untuk Deactivate Account.

Singkat cerita, accidently Instagramku malah ke Delete. Hmm diceritain aja deh, jadi tuh aku minta tolong suami yang punya laptop untuk Deactivate Instagram, karena kan cuma bisq dari laptop. Eh suami ngiranya di delete. Salah aku juga karena aku dari dulu suka curhatnya kalk aku pgn delete social media, dan ga ngingetin kalau cuma Deactivate,  bukan Delete.

Tapi, yaa kok ga sedih gak kehilangan gitu ya. Tandanya mungkin memang Instagram tidak begitu spark joy. Ada sih bosan dan rindu, gak takut FOMO, cuma greget ga bisa banyak sharing apapun. Yah mungkin nanti kubuat lagi beberapa bulan ke depan.

Anyway, social media lain yang kutinggalkan sudah dihapus. Soalnya udh  gak pernah dipakai, dan takut malah bumi makin panas. Ngerti gak?
Kalo ga ngerti, googling aja kenapa database kita yang ke save di dunia maya bisa bikin bumi makin panas.

Positive nya, aku bisa produktif ngeblog lagi, ngeluarin unek2 di sini. Bagiku blog adalah sahabat tanpa syarat. Jadi tempat curhat, ditinggalin, balik lagi, tapi tetap setia dan mau mendengarkan. (Kalo di dunia nyata jangan begitu, jahat namanya, datang kok kalau butuh aja)

Gula Membunuhmu

Gak banyak yang tau, kalau pembunuh yang paling kejam itu bukan yang terlihat seperti racun. Bukan rokok, bukan alkohol, bukan narkoba. Tapi adalah sesuatu yang manis, yang selalu bikin kita happy. Percaya diri, bahagia, puas. Gak pernah kita sangka.

Gula.

To the point aja. Sugar kills you.
Di semua makanan dalam kemasan. Di nasi. Di kecap. Di saos. Di susu. Di mana manaa ada. Gula mempunyai kekuatan adiktif 4x lebih besar daripada narkoba.
And it breaks your body.

Asli. Kalau udah ngerasain lama ga makan gula, tiba2 lemah iman di hadapan kue kue dan coklat, dijamin: lemes, pusing, pegel, bahkan sampai kayak mau flu.

Tubuh kita begitu kerja keras selama ini mengolah makanan "kotor", dan kita dengan percaya dirinya bilang "saya jarang sakit". Ya, karena tubuh kamu berbaik hati bekerja keras untuk mengolah makanan kotor itu sementara kamu leye2 sambil makan terus.

Tapi kamu gak tau berapa lama lagi tubuhmu kuat melakukan itu.

Sampai akhirnya.

Crack.

Nyamuk

Nyamuk berdenging melewati telingaku.
Hiiih.
Ah.
Kemana perginya sih?

Harus kucari atau kubiarkan saja?
Berkeliling ruangan menghisap darah kami?
Harus berapa kali menghisap sampai kenyang dan berhenti mengganggu kami?

Ck.

True Friend

Ternyata,
Yang true friends ternyata bukan true friends.
Malah yg not expected lah yang menjadi true friends.

Hidup dgn suami dan anak itu beda emg. Bisa berubah duniamu dan sekelilingmu. Tanpa kamu kehendaki, seberapa besarpun kamu berusaha.
Bisa tau yang baik baik tapi juga yang buruk2 dunia.
Bisa lebih memahami dunia, buat anakmu.

Aku ingin anakku menjadi true friend-ku.
Dan aku true friend-nya.

Yang pastinya.
Seberapa banyak buruk2nya suamimu yang bikin kamu jengkel.
Cuma dia ternyata yang paling true friend.
Sayang deh.

Yang lainnya mah.
Bullshit.
Bahkan kalau ku mati, aku ragu mereka datang.

Apa sih artinya true friend dalqm bahasa Indonesia?
Aku gamau ngartiin jadi "teman sejati"
Karena yang kumaksud adalah "teman beneran"
Tapi pasti tidak ada dalam kamus.

Popular Posts