Thursday, September 26, 2019

Lyfe After Kid

Aku pikir, setelah aku menikah itu hidupku akan berubah. Saat itu, delapan bulan belum dikaruniai anak, ternyata tidak begitu banyak perubahan yang terjadi, tidak ada apa-apanya. Lol, no offense to my husband.

Karena, hidupku baru benar-benar berubah ketika sudah punya anak. I mean, i never changed this much. Mulai dari perilaku, kebiasaan, bahkan perasaan. Waktu baru nikah, ok rasanya seperti new life, new responsibility. Tapi bagiku kayak, yaudah ngekos bareng orang lain gitu (karena aku dulu emang ngekos bareng suami), i have to share everything, share bed, budget, responsibility, etc. Tapi, aku baru sadar, aku baru paham bagaimana makna Responsibility, setelah punya anak.

Waktu baru nikah, iya sih rasanya cinta banget sama suami, but that's it. Tapi ketika punya anak, rasanya melebihi cinta. I would die for love, tapi aku ga akan mati untuk suamiku sih (lol, no offense again, beb), tapi ketika lihat anakku, oh God, i really would die for him. Romeo and Julliet are bullsh**, there's no love like that. Aku baru paham bagaimana yang namanya Love.

Aku mengerahkan semua pikiran, tenaga, dan perasaan untuk anakku. Semua kegembiraan, kekhawatiran, sayang, sebal, semua karena anakku. Pilihan bajuku, pilihan makananku, pilihan furniturku, pilihan filmku, bahkan pilihan jam tidurku, semua untuk anakku. Aku bisa egois terhadap suamiku, tapi aku ga bisa (atau gak boleh ya) egois terhadap anakku.

My life changed, my parents changed, my friends changed, even my previlages changed. Tidak pernah ada perubahan sebesar ini di dalam hidupku. And that's kinda freaks me out.

Membuatku berpikir, sebenarnya seluruh hidup kita ini untuk anak, ya gak sih? Meskipun kita belum punya anak.
Dari kecil kita disuruh sekolah agar bisa kerja dan menghidupi anak dengan layak.
Saat menikah, bukannya ditanya kabar malah ditanya anaknya mana alias "udah hamil belom?"
Abis punya anak, ya wis, bahkan eksistensi kita kalah sama eksistensi anakmu yang baru lahir ke dunia. Bahasan tentang anak akan lebih panjang daripada soal kabar kita.

Kadang aku iri sama anak-anak. Apa coba kontribusi mereka di dunia ini, tapi semua orang begitu sayang dan peduli dengan mereka, bahkan saat mereka belum ada di dunia?

Wednesday, September 25, 2019

Membandingkan Anak

Dear moms,
Tidak perlu khawatir apabila anak belum bisa merangkak, tidak perlu khawatir apabila anak belum bisa berjalan, belum bisa tepuk tangan, atau mengucapkan kata tertentu.

Begitu pula yang lain, tidak perlu sombong apabila anaknya berjalan duluan, tidak perlu pamer apabila anak bisa makan sendiri duluan, bisa bernyanyi duluan.

Nanti saat dewasa, anak ibu tidak akan ditanya oleh bos nya, atau karyawannya atau teman2nya, pada usia berapa ia bisa berjalan, pada usia berapa ia bisa makan sendiri.
None of it matters.

Mungkin memang ada kebanggaan tersendiri sebagai orangtua apabila anaknya sudah mencapai milestone tertentu. Tapi jangan sampai, perbedaan milestone anak ibu dengan anak yang lain membuat ibu memberikan "standar" nilai terhadap anak ibu. Dengan membiarkan diri ibu membuat standar tersebut, itu akan menanam kebiasaan pada diri ibu sendiri untuk selalu membanding2kan anak hingga ia besar.
Please break the chain. Anak bukan ajang lomba, ia adalah individu indipenden.

Anak ibu belum bisa jalan dari teman seusianya bukan berarti dia bodoh, anak ibu belum bisa bernyanyi seperti teman2nya bukan berarti dia tidak bisa.
Anak ibu sudah bisa berlari lebih dahulu bukan berarti ia pasti jadi bos dari teman2 lainnya, anak ibu sudah bisa bicara duluan bukan berarti ia akan selalu juara kelas.

Biarkan anak ibu, tumbuh sesuai fasenya sendiri, sesuai keinginannya sendiri. Anak ibu tidak peduli apabila ia belum bisa merangkak, atau sudah bisa berjalan. Yang ia pedulikan adalah apakah ibunya, ayahnya, orang2 sekitarnya sayang padanya, dapat ia percaya, dan selalu ada untuknya?

Sunday, September 22, 2019

Gemuk Tidak Selalu Sama Dengan Sehat

Udah lumrah banget di Indonesia. Bayi dan anak kalau gemuk itu dibilang sehat. Semakin gemuk, semakin baik, semakin sehat.

Ibu ibu pun berlomba-lomba untuk menaikkan BB anak. Anak orang gemuk langsung cari tips makanan booster berat badan anak dan stres kalau anak makannya tidak sesuai standar mereka. Padahal anaknya, normal. Masih sesuai kurva pertumbuhannya, tidak gizi buruk atau apa.

Gemuk itu bisa berarti baik, apabila, masih dalam batas tertentu. Yang dikhawatirkan, apabila orang tidak tahu atau tidak sadar ia telah melewati batas. Obsesinya begitu tinggi sehingga membutakan.

Angka obesitas anak2 selalu meningkat tiap tahunnya. Salah kaprah yang menyatakan bahwa gemuk adalah sehat sudah marak sekali. Dibilang tulangnya besar lah, hobi makan lah. Padahal, overfeeding, atau pemberian makanan tinggi lemak dan gula yang tidak baik.

Mungkin ibu bisa berbangga hati anaknya gemuk dan "sehat". Tapi anaknya mungkin saat besar akan tersesat, kesulitan mengontrol makannya, berusaha mati2an ngegym agar tubuh menjadi ideal, berusaha meningkatkan kepercayaan diri karena tubuhnya yang semakin buruk, dan lebih lagi berusaha "survive" dari segala penyakit yang menyertai kegemukannya. Diabetes, jantung, liver, belum lagi penyakit musiman yg seringkali menyerang org kegemukan. Semua itu untuk kebanggaan sementara si ibu selama si balita kecil dan gemuk.

Gemuk itu obesitas, bukan sehat.

Aku tau, kita harus mencintai diri kita apa adanya. Tapi jangan cintai diri kita yang rusak.

Gemuk itu karena apa? Kelebihan apa yang kita masukkan ke dalam tubuh. Allah swt. tidak suka manusia yang berlebih2an dan melewati batas kan?
Ya salah satunya batas Index Massa Tubuh kali ya. Huhehe

Saturday, September 21, 2019

Bye, Social Media! (Well, Most of It)

Sudah lama, aku ingin jauh dari social media. Bukan karena keinginan tapi tuntutan kali ya, jaman sekarang harus punya social media. Dulu, aku begitu FOMO (Fear of Missing Out), jadi aku punya semuaaa social media dari friendster, myspace, FB, twitter, linkedin, plurk, sampai skrg instagram. But they drove me crazy. Aku baca, terlalu banyak social media menimbulkan potensi depresi. Jadilah mulai satu persatu aku tinggalkam social mediaku. Tapi kembali lagi, karena aku FOMO, akun2 yang kutinggalkan kubiarkan saja. Manatau, akan terpakai lagi.

Aku mulai memfokuskan diri di satu sosial media, Instagram. Aku pikir ini yang paling cocok olehku, aku bisa sharing banyak tentang..apapun. Akupun baru sadar ternyata aku orangnya cenderung oversharer. Apa saja aku bisa share. Mostly unek2 sih, ya kayak isi blog ini.
Suatu hari, aku muak juga dengan instagram. Aku kepikiran untuk meninggalkannya (tapi masih sayang karena aku mulai menyukai sharing yang lebih serius), jadi aku kepikiran untuk Deactivate Account.

Singkat cerita, accidently Instagramku malah ke Delete. Hmm diceritain aja deh, jadi tuh aku minta tolong suami yang punya laptop untuk Deactivate Instagram, karena kan cuma bisq dari laptop. Eh suami ngiranya di delete. Salah aku juga karena aku dari dulu suka curhatnya kalk aku pgn delete social media, dan ga ngingetin kalau cuma Deactivate,  bukan Delete.

Tapi, yaa kok ga sedih gak kehilangan gitu ya. Tandanya mungkin memang Instagram tidak begitu spark joy. Ada sih bosan dan rindu, gak takut FOMO, cuma greget ga bisa banyak sharing apapun. Yah mungkin nanti kubuat lagi beberapa bulan ke depan.

Anyway, social media lain yang kutinggalkan sudah dihapus. Soalnya udh  gak pernah dipakai, dan takut malah bumi makin panas. Ngerti gak?
Kalo ga ngerti, googling aja kenapa database kita yang ke save di dunia maya bisa bikin bumi makin panas.

Positive nya, aku bisa produktif ngeblog lagi, ngeluarin unek2 di sini. Bagiku blog adalah sahabat tanpa syarat. Jadi tempat curhat, ditinggalin, balik lagi, tapi tetap setia dan mau mendengarkan. (Kalo di dunia nyata jangan begitu, jahat namanya, datang kok kalau butuh aja)

Gula Membunuhmu

Gak banyak yang tau, kalau pembunuh yang paling kejam itu bukan yang terlihat seperti racun. Bukan rokok, bukan alkohol, bukan narkoba. Tapi adalah sesuatu yang manis, yang selalu bikin kita happy. Percaya diri, bahagia, puas. Gak pernah kita sangka.

Gula.

To the point aja. Sugar kills you.
Di semua makanan dalam kemasan. Di nasi. Di kecap. Di saos. Di susu. Di mana manaa ada. Gula mempunyai kekuatan adiktif 4x lebih besar daripada narkoba.
And it breaks your body.

Asli. Kalau udah ngerasain lama ga makan gula, tiba2 lemah iman di hadapan kue kue dan coklat, dijamin: lemes, pusing, pegel, bahkan sampai kayak mau flu.

Tubuh kita begitu kerja keras selama ini mengolah makanan "kotor", dan kita dengan percaya dirinya bilang "saya jarang sakit". Ya, karena tubuh kamu berbaik hati bekerja keras untuk mengolah makanan kotor itu sementara kamu leye2 sambil makan terus.

Tapi kamu gak tau berapa lama lagi tubuhmu kuat melakukan itu.

Sampai akhirnya.

Crack.

Nyamuk

Nyamuk berdenging melewati telingaku.
Hiiih.
Ah.
Kemana perginya sih?

Harus kucari atau kubiarkan saja?
Berkeliling ruangan menghisap darah kami?
Harus berapa kali menghisap sampai kenyang dan berhenti mengganggu kami?

Ck.

True Friend

Ternyata,
Yang true friends ternyata bukan true friends.
Malah yg not expected lah yang menjadi true friends.

Hidup dgn suami dan anak itu beda emg. Bisa berubah duniamu dan sekelilingmu. Tanpa kamu kehendaki, seberapa besarpun kamu berusaha.
Bisa tau yang baik baik tapi juga yang buruk2 dunia.
Bisa lebih memahami dunia, buat anakmu.

Aku ingin anakku menjadi true friend-ku.
Dan aku true friend-nya.

Yang pastinya.
Seberapa banyak buruk2nya suamimu yang bikin kamu jengkel.
Cuma dia ternyata yang paling true friend.
Sayang deh.

Yang lainnya mah.
Bullshit.
Bahkan kalau ku mati, aku ragu mereka datang.

Apa sih artinya true friend dalqm bahasa Indonesia?
Aku gamau ngartiin jadi "teman sejati"
Karena yang kumaksud adalah "teman beneran"
Tapi pasti tidak ada dalam kamus.

Popular Posts