Monday, May 5, 2014

Resensi - Eric Weiner: the Geography of Bliss


Judul              : The Geography of Bliss
Penulis            : Eric Weiner
Penerjemah    : M. Rudi Atmoko
Penerbit (edisi Indonesia)     : Qanita 
Cetakan I       : November 2011 
Tebal              : 512 hlm


"Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu bukanlah perjalanku."
Paul Thereoux (dalam Eric Weiner, the Geography of Bliss)

Buku ini mengisahkan mengenai seorang penggerutu yang melakukan perjalanan keliling dunia untuk mencari negara paling bahagia. Rasa penasaran terhadap negara apa yang menjadi kesimpulannya bisa menjadi pertimbangan anda dalam membeli buku ini. Begitu juga dengan sinopsis yang berada di belakang buku yang menuliskan bahwa isi buku ini merupakan campuran dari psikologi, sains dan humor, mungkin akan menarik bagi anda yang tertarik pada 3 bidang tersebut. Eric merupakan seorang jurnalis yang bekerja di NPR (National Public Radio), dan pernah bekerja di New York Times. Nama belakangnya, Weiner, yang seirama dengan kata 'pengeluh' atau ‘perengek’ (whiner) dalam bahasa Inggris, cocok dengan karakternya yang ia ceritakan sendiri di dalam buku ini.

Perjalanan pertama Eric di awali dari Belanda, di mana kebahagiaan adalah angka. Di sana Eric menemukan data statistik mengenai tingkat kebahagiaan negara-negara di seluruh dunia dan dengan database tersebut ia menjelajahi negara lain. Apakah dengan berpikir tentang mencari kebahagiaan justru membuat orang tidak bahagia? Karena Di Thailand, kebahagiaan adalah tidak berpikir. Apakah kebahagiaan merupakan pencapaian paling akhir? Karena seseorang yang Eric temukan di India mengatakan bahwa Cinta merupakan hal yang lebih jauh dan besar daripada kebahagiaan karena cinta dapat membawa anda pada kebahagiaan itu sendiri. Tapi, terkadang cinta juga dapat menyakitkan. Hal yang kontradiktif. Bagi India, kebahagiaan adalah kontradiksi. Bagaimana dengan agama? Dengan bergantung pada Dewa atau Tuhan apakah membuat diri kita aman dan merasa bahagia? Tapi beberapa orang mengatakan kebahagiaan bukan dari Tuhan, melainkan adalah hasil dari usaha kita sendiri. Seperti uang, yang merupakan hasil dari usaha manusia. Apakah uang yang dapat membuat manusia bahagia? Sebuah tulisan pada rambu yang Eric baca saat ia berada di Bhutan berbunyi:
Ketika pohon terakhir ditebang
Ketika sungai terakhir dikosongkan
Ketika ikan terakhir ditangkap
Barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang.

Apakah keberhasilan membuat anda bahagia? Karena menurut orang Islandia, justru kegagalan adalah kebahagiaan. Karena jika anda bebas untuk gagal, maka anda bebas untuk mencoba, dan itu bisa membuat anda bahagia. Sayangnya tidak banyak orang menyukai kegagalan. Kebanyakan orang mencari kesempurnaan. Padahal, memberi ruang sedikit pada ketidaksempurnaan mungkin akan membuat anda lebih bahagia. Perjalan Eric ke beberapa negara dalam buku ini ia akhiri di negaranya sendiri, pulang, ke Amerika, di mana kebahagiaan adalah rumah.

Wawasan yang luas, observasi yang tajam, penggambaran yang hidup dan realistis, juga pembahasaan yang kritis dan seru akan membuat pembaca terus merasa terkesan di setiap lembaran bukunya. Erik bisa membuat sarkasme menjadi sesuatu yang lucu namun mengena. Pengeluh (lebih ke pengritik), namun ia bisa mengambil banyak insight dari setiap perjalanannya, dan membuat penyimpulan yang apik. Tak heran jika buku ini termasuk New York Times Best Seller, karena bisa membuat pembaca mengangguk-anggukkan kepalanya. Walaupun begitu, bagi anda yang kurang tertarik dengan sejarah atau fakta, akan sedikit bosan dengan informasi yang kaya mengenai kebudayaan, tradisi dan semacamnya. Buku ini memicu pembacanya utnuk berpikir kritis, dan bisa memunculkan diskusi panjang seperti, apakah anda bahagia? Apa yang membuat anda bahagia? Di mana tempat yang paling bahagaia menurut anda? Apakah Indonesia merupakan negara yang bahagia? Apa kebahagiaan menurut orang Indonesia? Semua pertanyaan ini bisa muncul setiap membaca lembaran buku ini. 

Pada akhirnya, mungkin memang tidak ada tempat yang disebut 'paling membahagiakan'. Kebahagiaan suatu negara kembali lagi tergantung masyarakatnya menganggapnya. Misalnya unsur Karbon, karbon adalah unsur dasar dari kehidupan. Disusun demikian rupa, karbon  bisa menjadi air, di ubah lagi, ia bisa menjadi intan, ataupun arang. “Penataanlah yang membedakan”. Begitu pula dengan kebahagiaan sebuah bangsa, adalah tergantung bagaimana masyarakat 'menyusunnya'. "Surga bagi seseorang bisa jadi neraka bagi orang lain". Ketika bagi seseorang, menikmati produk coklat sudah membuatnya bahagia, anda tidak bisa men-judge sebaliknya terhadap dia. Kata tokoh psikologi, Mihalyi Csikszentmihalyi, "Ketika seseorang berkata dia sangat bahagia, maka orang lain tidak berhak mengabaikan pernyataannya atau menafsirkan sebaliknya".

1 comment:

Popular Posts