Sebuah
telepon genggam berwarna merah tergeletak di bawah bangku peron stasiun.
Layarnya menampilkan sebuah wajah seorang perempuan. Telepon genggam itu tak
terlihat oleh kerumunan orang di sekitarnya yang panik dengan kejadian yang
barusan terjadi. Kerumunan itu semakin banyak membuat telepon genggam tadi
semakin terabaikan dan masih mengeluarkan suara “Halo..? Halo..?”
***
Keringat Adira bercucuran seraya ia
berjalan menapaki trotoar di bawah matahari yang terik. Hari itu hari yang
panas di bulan Oktober. Seharusnya sekarang bermusim hujan, namun udara saat
itu entah kenapa masih panas dan lembab. Sudah 3 hari berturut-turut awan tidak
mengeluarkan air matanya. Mungkin ini
efek global warming. Pikir Adira. Namun cuaca seperti itu tidak menurunkan
semangat dan detakan jantungnya yang berdebar-debar untuk segera ke
laboratorium komputer di kampusnya.
Adira adalah gadis rantau dari kampungnya
di Jogja. Menjadi murid teladan dari SMA-nya, pantas ia diterima menjadi
mahasiswi di kampus ternama di Jakarta. Adira menyewa sebuah kamar kost murah
dengan kamar mandi bersama, di sekitar kampusnya. Sehari-hari ia berjalan kaki
ke kampus, untuk menghemat uangnya yang tidak terlalu banyak. Maklum, anak
rantau.
Sesampainya di laboratorium komputer kampusnya,
Adira langsung menghampiri komputer paling ujung dan membuka sebuah situs.
Hatinya semakin berdebar dan tangannya dingin seraya membuka berita yang akan
sangat mengubah hidupnya. Matanya melihat layar komputer dari atas kebawah.
Jarinya terus memutar roda pada mouse
di tangan kanannya.
Tiba-tiba, sorot mata Adira terpaku diam, jantungnya
terasa terhenti, nafasnya terhembus kencang dan matanya mulai basah. Ia tidak
lolos pada beasiswa yang ia ajukan. Padahal Adira sangat butuh biaya tambahan,
karena Adira berkuliah dengan memakai uang sendiri. Keluarganya mana mampu
membiayainya.
Raut wajah Adira sangat lesu, ia kesal
sekali. Padahal proses wawancara tujuh hari yang lalu sangat meyakinkan,
pewawancaranya terlihat sangat antusias terhadap Adira. Dasar interviewer PHP (pemberi harapan palsu)! Adira membatin. Ia
pun pulang berjalan kaki kembali menuju rumah kostnya, melewati trotoar yang
terhubung dari kampusya.
Pikirannya kacau, beasiswa mana lagi yang
harus ia ajukan. Dana bantuan yang sudah Adira terima hanya cukup membiayai kuliahnya
yang itu pun sudah diberi keringanan, namun itu belum cukup untuk membiayai
hidupnya. Ah! Kenapa sih aku harus
membiayai kuliahku sendiri? Enak sekali orang-orang yang orangtuanya masih bisa
membiayainya dan bisa seenaknya menggunakan uangnya untuk membeli makanan dan
barang-barang yang diinginkannya. Pikiran Adira kian meracau. Ia tak lagi memperhatikan
jalan, hingga akhirnya sesuatu terjadi.
Ciiiiiiitttt......braaakkkkk!!!
Kecelakan. Sebuah kecelakaan sungguhan
terjadi di tengah jalan yang Adira lewati. Ia persis berada di trotoar di
samping dua motor yang bergeletakan di jalan. Ia melihat seorang perempuan
tergeletak di samping motornya, diikuti dengan seorang pria tua yang mulai
mencoba berdiri kembali pada motornya. Perempuan yang mungkin merupakan
mahasiswi juga seperti Adira, tidak sadarkan diri.
Adira sangat terkejut, jantungnya hampir
copot. Belum pernah ia melihat kecelakaan sedekat ini. Saat itu hanya ada dia
di trotoar yang melihat kejadian itu. Adira panik, ia tak tahu apa yang harus
dilakukannya. Bagaimana ini? Ia bukan
dokter yang bisa tahu kondisi si korban perempuan, dan...bagaimana jika ternyata gadis itu... mati?
Tak lama kemudian, beberapa pengendara
motor dan mobil yang melihat kecelakaan itu, berhenti untuk menolong kedua
korban. Untunglah. Ketegangan Adira
berkurang setelah kedua korban telah dibantu orang lain. Adira masih kaku dalam
posisinya di trotoar, berusaha untuk tidak terlihat. Ia ingin meneruskan
perjalanannya ke rumah kost, namun tiba-tiba ia melihat sesuatu berwarna merah tergeletak
di dekat kakinya.
Sebuah telepon genggam. Hp siapa ini? Pikir Adira. Hp itu
merupakan Hp kelas atas yang mungkin harganya sekitar lima juta rupiah. Adira
menerka siapa pemilik Hp tersebut. Ia melihat sebuah tas jinjing yang terbuka
dan berserakan isinya, satu meter dari sang gadis yang menjadi korban. Gadis
itu sedang digotong menuju mobil salah satu orang yang mau menolongnya. Mungkin punya gadis itu. Untuk
memastikan, Adira melihat korban yang lainnya yaitu si bapak tua, dan melihat
ke saku celananya. Ada sedikit bentuk menyembul bentuk telepon genggam dari
celana bapak itu. Berarti Hp ini memang milik si gadis korban.
Adira ragu untuk merenggut Hp tersebut, ia
takut terlibat apa-apa dalam kecelakaan itu. Dengan tangan yang dingin, akhirnya
ia mengambil Hp tersebut dan melihat layar depannya. Benar, gambar seorang perempuan
yang mirip gadis korban tadi. Segera, ia melangkah ke arah jalan untuk
mengembalikan Hp tersebut.
Baru satu langkah ia menuju kerumunan
orang, ia terdiam. Sebuah pikiran baru melayang di benaknya. Hp ini bisa dijual untuk membeli keperluan
sehari-hariku. Ha! Mungkin ini balasan karena ia tidak diterima beasiswa. Hp
ini masih bagus, dan bisa laku sekitar..mungkin tiga juta!.
Adira menahan agar ia tidak memunculkan
ekspresi apapun itu yang muncul di wajahnya, karena ia tidak tahu apa yang ia
rasakan, apakah itu takut, cemas, atau senang. Ia masih berpura-pura menjadi
gadis pejalan kaki baik yang tidak sengaja lewat dan tidak berurusan apa-apa
dengan kecelakaan itu.
Kerumunan orang semakin berkurang, korban
sudah digotong ke mobil dan pergi, mungkin langsung ke rumah sakit. Bapak tua
yang tadi menabrak sang gadis korban terlihat baik-baik saja meskipun menahan
sakit pada kakinya. Bapak itu cukup panik dan akhirnya mengikuti mobil pembawa
badan sang gadis korban ke rumah sakit menggunakan motornya. Jalanan pun
kembali sepi.
Adira merasa seperti menonton film, begitu
terpaku dan baru sadar bahwa yang ditontonnya sudah berakhir. Apa yang aku lakukan? pikir Adira. Tak
ada yang memperhatikan keberadaan Adira. Tangannya masih memegang Hp yang ia
pungut tadi, dan sekarang tiba-tiba tangannya gemetar. Badannya lemas, dan
tubuhnya mulai muncul keringat dingin. Oh,
sial. Apa yang kau lakukan Adira? Sekarang Hp korban kecelakaan ada di tanganmu
dan kamu berencana untuk menjualnya? Adira tidak habis pikir. Jantungnya berdegup
kencang dan ia merasa seperti akan pingsan.
Adira memusatkan perhatiannya kembali,
mengatur nafasnya. Ia teringat kembali mengapa ia tidak jadi mengembalikan Hp
tersebut. Akan ia jual Hp itu dan mencukupi kebutuhannya untuk, yah.. mungkin
sekitar 3 bulan. Adira sedikit merasa lega dan mulai merencanakan sesuatu. Hari
ini ia akan menghapus semua memori dari Hp itu dan besok ia akan menjualnya. Ia
pun bergegas kembali ke kamar kostnya, menggendong Hp itu di dalam ranselnya.
Sesampainya di kamar kost, Adira langsung
berbaring di kasur dan mulai memejamkan matanya, ia sangat lelah. Ia telah lupa
akan kejadian yang baru saja disaksikan dan ia lupa tentang Hp di tasnya. Mata
Adira mulai terpejam. Dalam benaknya, ia membayangkan telah mendapatkan
beasiswa penuh dari perusahaan yang dia inginkan. Ia punya uang tabungan
berlebih dan bisa membeli telepon genggam merek terkenal yang sedang tren.
Adira sedang menggenggam Hp barunya itu, lalu Hp tersebut membunyikan nada
deringnya...
Adira membuka mata dan mengecek tangannya.
Barusan adalah mimpi. Adira bernafas lega dan mencoba untuk tidur kembali.
Namun Adira terkejut ketika nada dering di mimpinya berbunyi kembali. Itu nyata. Adira tidak familiar dengan
bunyi itu. Ia memang punya Hp, sudah jelek memang, tapi masih bisa berbunyi dan
bunyinya..tidak seperti itu. Adira teringat kembali kejadian sebelum ia kembali
ke kamar kost. Hp itu! Saking
letihnya, tak terpikirkan olehnya untuk mencabut kartu telepon Hp itu. Adira
merogoh-rogoh tas mencari Hp itu dan kini sudah ada digenggamannya.
Sebuah foto gadis sebaya Adira disertai
nama “Putri” muncul pada layar telepon. Adira panik bukan main karena nada
dering itu berisik sekali, ia tau harus segera mengambil tindakan. Segera, ia
menekan tombol merah pada Hp tersebut. Nada dering berhenti, Adira
menghembuskan nafas lega.
Beberapa detik kemudian, dering telepon
tadi berbunyi kembali. Sial. Adira
seharusnya mematikan Hp itu, tapi jika dimatikan, kemungkinan akan ada kata
sandi yang dipakai untuk menyalakan Hp tersebut. Jika demikian, ia tidak akan
bisa menghapus memori Hp itu dan tidak bisa menjualnya tanpa ketahuan. Adira
bingung dan panik.
Tiba-tiba ia terbenak sesuatu. Bagaimana
jika ia berpura-pura menjadi gadis korban dan menjawab telepon. Ia hanya harus
bilang kalau ia sedang sibuk dan tidak bisa dihubungi beberapa waktu. Setelah
itu ia akan menghapus memori dan segera menjual Hp itu. Beres! Dengan percaya diri ia mengangkat panggilan tersebut. Suara
tangisan perempuan muncul di telinga Adira.
“Ha...Halo..?” kata suara itu memanggil
dengan tersedu.
“Ya..halo..” Mendengar suara dibalik telepon,
raut wajah Adira berubah. Adira membalas salam dengan penuh tanda tanya.
“Win, aku mau bunuh diri” Terdengar suara
isakan yang mengeras di telefon.
“Hah? Kenapa.. umm.. Putri..?” Adira kaget
mendengarnya, ia berbicara seakan kenal dengan penelponnya. Rencananya tadi
buyar semua. Adira panik, nyawa seseorang akan hilang jika ia salah bicara.
“Winda, aku nggak tahan lagi. Dendi makin
kasar, hari ini dia meminta untuk berhubungan lagi. Tapi aku nggak mau. Tapi
Dendi malah mukul-mukul aku dan terus memaksa aku, dan aku nggak bisa
ngapa-ngapain. Begitu terus setiap hari! Aku nggak kuat, Win. Badanku sakit
semua.”
Adira bingung harus mengatakan apa. Ia
tidak kenal dengan Putri, si penelepon. Ia cemas, tangannya mulai dingin,
berpikir akan melakukan apa. Beberapa detik berlalu, saluran telepon itu tetap
hening.
“Halo..? Halo..?? Winda..?” Terdengar
suara penelepon makin terisak.
Pada akhirnya Adira memberanikan diri
untuk langsung menutup panggilan itu. Tut.
Adira bernafas sebentar. Ia menunggu beberapa lama, dan ia lega karena si
penelepon tidak menelepon lagi. Mungkin ia berpikir jika yang ditelponnya
sedang sibuk. Adira lega. Ia berfikir untuk segera menjual Hp itu hari ini
saja. Semakin cepat semakin baik.
Adira berjalan keluar dari kamar kostnya,
segera menuju pasar terdekat yang bisa membeli Hp bekas dengan harga yang cukup
mahal. Itu tandanya ia harus berjalan kaki dulu ke stasiun kereta api, lalu pergi
dengan kereta menuju ke Jakarta. Tidak
apa-apa, semakin cepat semakin baik. Pikir Adira yang cukup panik dan
sangat berharap telepon tadi tidak berdering lagi. Telepon genggam itu
dijejalkan kembali ke tasnya. Adira mulai melangkah ke stasiun kereta terdekat.
Di tengah perjalanannya, telepon genggam
itu berdering lagi, membuat Adira kaget dan mempercepat langkah. Adira merasa
dering ini terlalu berisik, ia tadi sampai lupa untuk mengecilkan volume Hp
tersebut. Sayangnya, ia melewati segerombolan orang-orang yang juga sedang
memakai trotoar. Dengan enggan, ia mengorek isi tasnya dan menggenggam Hp itu
kembali. Peneleponnnya masih sama. Setelah menghembuskan nafas, Adira
mengangkat telepon tersebut.
“Halo..?” kata suara diujung sana.
“Halo..” Adira menjawab dengan enggan. Ia
tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
“Winda, kenapa tadi diputus?” Suara di
telepon terdengar sudah membaik dari pertama kali menelepon. Terdengar lega.
“Maaf, Put. Aku lagi sibuk.” Hanya itu yng
bisa dikatakan Adira.
“Oh, maaf. Tapi untungnya saat kamu tutup
telepon, Dendi datang dan untungnya aku sempat keluar rumah. Sekarang aku
bersembunyi di belakang rumah. Aku harus apa, Winda?” Kata Putri dengan nada
bicara cemas. Adira sedikit lega karena si penelepon tidak jadi bunuh diri.
“Um.. kamu harus pergi dari sana, Put. Ya!
Pergi.. secepatnya!” Saran yang sangat gampang yang bisa ditemukan di pikiran
Adira hanya itu. Ia merasa pintar dan menjadi sangat meyakinkan ketika
mengatakannya.
“Aku juga sudah memikirkan itu. Aku nggak
kuat lagi!” Jawab orang di telepon. “Aku akan pergi sekarang. Umm..aku akan ke
rumahmu ya, Winda.” Detakan jantung Adira sempat terhenti mendengar hal itu.
Tapi ia tesadar bahwa si penelepon bukan sedang berbicara padanya, tapi pada
Winda. Telepon terputus, Adira lega dan mempercepat langkahnya menuju stasiun.
Stasiun ramai seperti biasa, antrian tiket
cukup panjang. Selama mengantri, tak sadar Adira menggoyang-goyangkan kaki
karena cemas dan sangat terburu-buru. Ia takut nanti Hp itu berdering lagi di
tempat umum seperti ini. Cukup lama waktu berselang, tiket kereta sudah berada
di tangan Adira dan ia menunggu di bangku tunggu penumpang yang cukup jauh dari
pintu masuk stasiun. Ia mencoba melemaskan dirinya dan bernafas lega.
Beberapa menit berlalu namun kereta tak
kunjung tiba, hingga tiba-tiba Hp itu berdering lagi. Aduh.
“Halo..?” Nada suara dari penelepon
berubah. Seakan si penelepon tidak pernah menangis sebelumnya.
“Ya.. halo..” Jawab Adira.
“Ini siapa?” Kata orang yang disebut Putri
itu, bertanya di telinga Adira. Adira bingung mengapa si penelepon menanyakan
itu. Apa jangan-jangan.. aku ketahuan?
Dengan spontan, Adira menjawab sesuai dengan apa yang telah ia pelajari.
“Ini..Winda..”
“Bohong! Aku tahu kamu bukan Winda!” Tadi
aku ke rumah Winda dan katanya Winda sedang di rumah sakit karena kecelakaan.
Sekarang aku sedang di stasiun utnuk pergi ke rumah sakit tempat Winda di
rawat. Mengakulah kamu!”
Adira buru-buru mematikan panggilan itu.
Ia tidak sempat mencerna perkataan si penelepon. Ia menjadi begitu panik.
Beberapa detik kemudian, telepon itu berbunyi lagi. Kali ini ia sangat panik
karena ia sudah ketahuan. Ia tidak ingin menjawab telepon tersebut, tapi ia
ditatap beberapa orang yang sedang menunggu kereta yang sama seperti dia. Adira
pun menjwab panggilan telepon itu lagi.
“Halo..? Heh pencuri, jangan kira kamu
bisa lari. Aku bisa melacak keberadaan kamu sekarang.” Kata si penelepon, makin
terdengar agresif.
“Ini aku kok, Put. Winda.” Adira panik
hingga tak terpikir lagi untuk mengatakan apa.
Tiba-tiba suara pengumuman kereta
berbunyi.
“Kereta tujuan Jakarta akan segera tiba di
jalur dua.” Suara wanita pemberi pengumuman terdengar kencang di tempat tunggu
penumpang.
Adira lega, itu keretanya. Dengan spontan ia
berjalan mendekati jalur kereta. Tanpa sadar ia masih memegang telepon genggam
itu di telinganya. Suara penelepon pun terdengar kembali.
“Aku dengar pengumuman yang sama, pencuri.
Berarti kita berada di stasiun yang sama. Sekarang, di mana kamu!”
Adira panik bukan main. Ia menengok ke
kanan dan ke kiri, tidak ada orang yang juga sedang memegang telepon genggam.
Sekarang Adira melihat ke seberang rel,
ada perempuan yang sedang memegang Hp dan menatap kepadanya. Kereta Adira mulai
terlihat kepalanya di ujung stasiun.
Perempuan itu berdiri lebih jauh dari
padanya dan lebih jauh daripada pintu masuk stasiun. Itu dia. Adira melepas niatnya untuk menaiki kereta, dan segera
mengambil kesempatan untuk keluar dari stasiun. Adira berjalan cepat menuju
pintu stasiun yang cukup jauh dari tempatnya duduk tadi. Beberapa kali ia
melihat ke arah perempuan tadi, yang kemungkinan adalah Putri si penelepon.
Suara kereta mulai berderu kencang memasuki stasiun.
Ketika Adira berjalan, perempuan itu masih
menatapnya dan mulai berjalan ke arahnya. Walaupun berada di peron di
seberangnya, Adira semakin berkeringat dingin melihat perempuan itu melangkah
kepadanya. Ia mempercepat langkahnya tanpa memperhatikan orang-orang di
depannya.
Adira sekarang mulai berlari, sambil terus
menengok ke belakang, melihat perempuan itu masih berjalan ke arahnya. Terjadi
begitu spontan, Adira menabrak seseorang di depannya. Badannya oleng ke arah
jalur kereta, seiring dengan kereta yang sedang berderu memasuki stasiun.
Kepala dan badan Adira bergesekan dengan badan kereta yang sedang melaju cepat
namun melambat, berusaha berhenti di stasiun.
Adira terhempas di atas
aspal peron kereta, tak sadarkan diri. Darah keluar dari kepala dan badannya.
Orang-orang yang sedang berdiri menunggu pintu kereta terbuka, beralih
mengerubunginya. Hp yang tadi Adira genggam terlempar tanpa disadari
orang-orang yang panik melihat kejadian barusan. Hp itu tergeletak di bawah
kursi peron stasiun, jauh dari kerumunan orang, masih menampilkan wajah seorang
perempuan dan berbunyi “Halo..? Halo..?”