Tuesday, November 11, 2014

Halo..?


Sebuah telepon genggam berwarna merah tergeletak di bawah bangku peron stasiun. Layarnya menampilkan sebuah wajah seorang perempuan. Telepon genggam itu tak terlihat oleh kerumunan orang di sekitarnya yang panik dengan kejadian yang barusan terjadi. Kerumunan itu semakin banyak membuat telepon genggam tadi semakin terabaikan dan masih mengeluarkan suara “Halo..? Halo..?”
***
Keringat Adira bercucuran seraya ia berjalan menapaki trotoar di bawah matahari yang terik. Hari itu hari yang panas di bulan Oktober. Seharusnya sekarang bermusim hujan, namun udara saat itu entah kenapa masih panas dan lembab. Sudah 3 hari berturut-turut awan tidak mengeluarkan air matanya. Mungkin ini efek global warming. Pikir Adira. Namun cuaca seperti itu tidak menurunkan semangat dan detakan jantungnya yang berdebar-debar untuk segera ke laboratorium komputer di kampusnya.
Adira adalah gadis rantau dari kampungnya di Jogja. Menjadi murid teladan dari SMA-nya, pantas ia diterima menjadi mahasiswi di kampus ternama di Jakarta. Adira menyewa sebuah kamar kost murah dengan kamar mandi bersama, di sekitar kampusnya. Sehari-hari ia berjalan kaki ke kampus, untuk menghemat uangnya yang tidak terlalu banyak. Maklum, anak rantau.
Sesampainya di laboratorium komputer kampusnya, Adira langsung menghampiri komputer paling ujung dan membuka sebuah situs. Hatinya semakin berdebar dan tangannya dingin seraya membuka berita yang akan sangat mengubah hidupnya. Matanya melihat layar komputer dari atas kebawah. Jarinya terus memutar roda pada mouse di tangan kanannya.
Tiba-tiba, sorot mata Adira terpaku diam, jantungnya terasa terhenti, nafasnya terhembus kencang dan matanya mulai basah. Ia tidak lolos pada beasiswa yang ia ajukan. Padahal Adira sangat butuh biaya tambahan, karena Adira berkuliah dengan memakai uang sendiri. Keluarganya mana mampu membiayainya.
Raut wajah Adira sangat lesu, ia kesal sekali. Padahal proses wawancara tujuh hari yang lalu sangat meyakinkan, pewawancaranya terlihat sangat antusias terhadap Adira. Dasar interviewer PHP (pemberi harapan palsu)! Adira membatin. Ia pun pulang berjalan kaki kembali menuju rumah kostnya, melewati trotoar yang terhubung dari kampusya.
Pikirannya kacau, beasiswa mana lagi yang harus ia ajukan. Dana bantuan yang sudah Adira terima hanya cukup membiayai kuliahnya yang itu pun sudah diberi keringanan, namun itu belum cukup untuk membiayai hidupnya. Ah! Kenapa sih aku harus membiayai kuliahku sendiri? Enak sekali orang-orang yang orangtuanya masih bisa membiayainya dan bisa seenaknya menggunakan uangnya untuk membeli makanan dan barang-barang yang diinginkannya. Pikiran Adira kian meracau. Ia tak lagi memperhatikan jalan, hingga akhirnya sesuatu terjadi.
Ciiiiiiitttt......braaakkkkk!!!
Kecelakan. Sebuah kecelakaan sungguhan terjadi di tengah jalan yang Adira lewati. Ia persis berada di trotoar di samping dua motor yang bergeletakan di jalan. Ia melihat seorang perempuan tergeletak di samping motornya, diikuti dengan seorang pria tua yang mulai mencoba berdiri kembali pada motornya. Perempuan yang mungkin merupakan mahasiswi juga seperti Adira, tidak sadarkan diri.
Adira sangat terkejut, jantungnya hampir copot. Belum pernah ia melihat kecelakaan sedekat ini. Saat itu hanya ada dia di trotoar yang melihat kejadian itu. Adira panik, ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Bagaimana ini? Ia bukan dokter yang bisa tahu kondisi si korban perempuan, dan...bagaimana jika ternyata gadis itu... mati?
Tak lama kemudian, beberapa pengendara motor dan mobil yang melihat kecelakaan itu, berhenti untuk menolong kedua korban. Untunglah. Ketegangan Adira berkurang setelah kedua korban telah dibantu orang lain. Adira masih kaku dalam posisinya di trotoar, berusaha untuk tidak terlihat. Ia ingin meneruskan perjalanannya ke rumah kost, namun tiba-tiba ia melihat sesuatu berwarna merah tergeletak di dekat kakinya.
Sebuah telepon genggam. Hp siapa ini? Pikir Adira. Hp itu merupakan Hp kelas atas yang mungkin harganya sekitar lima juta rupiah. Adira menerka siapa pemilik Hp tersebut. Ia melihat sebuah tas jinjing yang terbuka dan berserakan isinya, satu meter dari sang gadis yang menjadi korban. Gadis itu sedang digotong menuju mobil salah satu orang yang mau menolongnya. Mungkin punya gadis itu. Untuk memastikan, Adira melihat korban yang lainnya yaitu si bapak tua, dan melihat ke saku celananya. Ada sedikit bentuk menyembul bentuk telepon genggam dari celana bapak itu. Berarti Hp ini memang milik si gadis korban.
Adira ragu untuk merenggut Hp tersebut, ia takut terlibat apa-apa dalam kecelakaan itu. Dengan tangan yang dingin, akhirnya ia mengambil Hp tersebut dan melihat layar depannya. Benar, gambar seorang perempuan yang mirip gadis korban tadi. Segera, ia melangkah ke arah jalan untuk mengembalikan Hp tersebut.
Baru satu langkah ia menuju kerumunan orang, ia terdiam. Sebuah pikiran baru melayang di benaknya. Hp ini bisa dijual untuk membeli keperluan sehari-hariku. Ha! Mungkin ini balasan karena ia tidak diterima beasiswa. Hp ini masih bagus, dan bisa laku sekitar..mungkin tiga juta!.  
Adira menahan agar ia tidak memunculkan ekspresi apapun itu yang muncul di wajahnya, karena ia tidak tahu apa yang ia rasakan, apakah itu takut, cemas, atau senang. Ia masih berpura-pura menjadi gadis pejalan kaki baik yang tidak sengaja lewat dan tidak berurusan apa-apa dengan kecelakaan itu.
Kerumunan orang semakin berkurang, korban sudah digotong ke mobil dan pergi, mungkin langsung ke rumah sakit. Bapak tua yang tadi menabrak sang gadis korban terlihat baik-baik saja meskipun menahan sakit pada kakinya. Bapak itu cukup panik dan akhirnya mengikuti mobil pembawa badan sang gadis korban ke rumah sakit menggunakan motornya. Jalanan pun kembali sepi.
Adira merasa seperti menonton film, begitu terpaku dan baru sadar bahwa yang ditontonnya sudah berakhir. Apa yang aku lakukan? pikir Adira. Tak ada yang memperhatikan keberadaan Adira. Tangannya masih memegang Hp yang ia pungut tadi, dan sekarang tiba-tiba tangannya gemetar. Badannya lemas, dan tubuhnya mulai muncul keringat dingin. Oh, sial. Apa yang kau lakukan Adira? Sekarang Hp korban kecelakaan ada di tanganmu dan kamu berencana untuk menjualnya? Adira tidak habis pikir. Jantungnya berdegup kencang dan ia merasa seperti akan pingsan.
Adira memusatkan perhatiannya kembali, mengatur nafasnya. Ia teringat kembali mengapa ia tidak jadi mengembalikan Hp tersebut. Akan ia jual Hp itu dan mencukupi kebutuhannya untuk, yah.. mungkin sekitar 3 bulan. Adira sedikit merasa lega dan mulai merencanakan sesuatu. Hari ini ia akan menghapus semua memori dari Hp itu dan besok ia akan menjualnya. Ia pun bergegas kembali ke kamar kostnya, menggendong Hp itu di dalam ranselnya.
Sesampainya di kamar kost, Adira langsung berbaring di kasur dan mulai memejamkan matanya, ia sangat lelah. Ia telah lupa akan kejadian yang baru saja disaksikan dan ia lupa tentang Hp di tasnya. Mata Adira mulai terpejam. Dalam benaknya, ia membayangkan telah mendapatkan beasiswa penuh dari perusahaan yang dia inginkan. Ia punya uang tabungan berlebih dan bisa membeli telepon genggam merek terkenal yang sedang tren. Adira sedang menggenggam Hp barunya itu, lalu Hp tersebut membunyikan nada deringnya...
Adira membuka mata dan mengecek tangannya. Barusan adalah mimpi. Adira bernafas lega dan mencoba untuk tidur kembali. Namun Adira terkejut ketika nada dering di mimpinya berbunyi kembali. Itu nyata. Adira tidak familiar dengan bunyi itu. Ia memang punya Hp, sudah jelek memang, tapi masih bisa berbunyi dan bunyinya..tidak seperti itu. Adira teringat kembali kejadian sebelum ia kembali ke kamar kost. Hp itu! Saking letihnya, tak terpikirkan olehnya untuk mencabut kartu telepon Hp itu. Adira merogoh-rogoh tas mencari Hp itu dan kini sudah ada digenggamannya.
Sebuah foto gadis sebaya Adira disertai nama “Putri” muncul pada layar telepon. Adira panik bukan main karena nada dering itu berisik sekali, ia tau harus segera mengambil tindakan. Segera, ia menekan tombol merah pada Hp tersebut. Nada dering berhenti, Adira menghembuskan nafas lega.
Beberapa detik kemudian, dering telepon tadi berbunyi kembali. Sial. Adira seharusnya mematikan Hp itu, tapi jika dimatikan, kemungkinan akan ada kata sandi yang dipakai untuk menyalakan Hp tersebut. Jika demikian, ia tidak akan bisa menghapus memori Hp itu dan tidak bisa menjualnya tanpa ketahuan. Adira bingung dan panik.
Tiba-tiba ia terbenak sesuatu. Bagaimana jika ia berpura-pura menjadi gadis korban dan menjawab telepon. Ia hanya harus bilang kalau ia sedang sibuk dan tidak bisa dihubungi beberapa waktu. Setelah itu ia akan menghapus memori dan segera menjual Hp itu. Beres! Dengan percaya diri ia mengangkat panggilan tersebut. Suara tangisan perempuan muncul di telinga Adira.
“Ha...Halo..?” kata suara itu memanggil dengan tersedu.
“Ya..halo..” Mendengar suara dibalik telepon, raut wajah Adira berubah. Adira membalas salam dengan penuh tanda tanya.
“Win, aku mau bunuh diri” Terdengar suara isakan yang mengeras di telefon.
“Hah? Kenapa.. umm.. Putri..?” Adira kaget mendengarnya, ia berbicara seakan kenal dengan penelponnya. Rencananya tadi buyar semua. Adira panik, nyawa seseorang akan hilang jika ia salah bicara.
“Winda, aku nggak tahan lagi. Dendi makin kasar, hari ini dia meminta untuk berhubungan lagi. Tapi aku nggak mau. Tapi Dendi malah mukul-mukul aku dan terus memaksa aku, dan aku nggak bisa ngapa-ngapain. Begitu terus setiap hari! Aku nggak kuat, Win. Badanku sakit semua.”
Adira bingung harus mengatakan apa. Ia tidak kenal dengan Putri, si penelepon. Ia cemas, tangannya mulai dingin, berpikir akan melakukan apa. Beberapa detik berlalu, saluran telepon itu tetap hening.
“Halo..? Halo..?? Winda..?” Terdengar suara penelepon makin terisak.
Pada akhirnya Adira memberanikan diri untuk langsung menutup panggilan itu. Tut. Adira bernafas sebentar. Ia menunggu beberapa lama, dan ia lega karena si penelepon tidak menelepon lagi. Mungkin ia berpikir jika yang ditelponnya sedang sibuk. Adira lega. Ia berfikir untuk segera menjual Hp itu hari ini saja. Semakin cepat semakin baik.
Adira berjalan keluar dari kamar kostnya, segera menuju pasar terdekat yang bisa membeli Hp bekas dengan harga yang cukup mahal. Itu tandanya ia harus berjalan kaki dulu ke stasiun kereta api, lalu pergi dengan kereta menuju ke Jakarta. Tidak apa-apa, semakin cepat semakin baik. Pikir Adira yang cukup panik dan sangat berharap telepon tadi tidak berdering lagi. Telepon genggam itu dijejalkan kembali ke tasnya. Adira mulai melangkah ke stasiun kereta terdekat.
Di tengah perjalanannya, telepon genggam itu berdering lagi, membuat Adira kaget dan mempercepat langkah. Adira merasa dering ini terlalu berisik, ia tadi sampai lupa untuk mengecilkan volume Hp tersebut. Sayangnya, ia melewati segerombolan orang-orang yang juga sedang memakai trotoar. Dengan enggan, ia mengorek isi tasnya dan menggenggam Hp itu kembali. Peneleponnnya masih sama. Setelah menghembuskan nafas, Adira mengangkat telepon tersebut.
“Halo..?” kata suara diujung sana.
“Halo..” Adira menjawab dengan enggan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
“Winda, kenapa tadi diputus?” Suara di telepon terdengar sudah membaik dari pertama kali menelepon. Terdengar lega.
“Maaf, Put. Aku lagi sibuk.” Hanya itu yng bisa dikatakan Adira.
“Oh, maaf. Tapi untungnya saat kamu tutup telepon, Dendi datang dan untungnya aku sempat keluar rumah. Sekarang aku bersembunyi di belakang rumah. Aku harus apa, Winda?” Kata Putri dengan nada bicara cemas. Adira sedikit lega karena si penelepon tidak jadi bunuh diri.
“Um.. kamu harus pergi dari sana, Put. Ya! Pergi.. secepatnya!” Saran yang sangat gampang yang bisa ditemukan di pikiran Adira hanya itu. Ia merasa pintar dan menjadi sangat meyakinkan ketika mengatakannya.
“Aku juga sudah memikirkan itu. Aku nggak kuat lagi!” Jawab orang di telepon. “Aku akan pergi sekarang. Umm..aku akan ke rumahmu ya, Winda.” Detakan jantung Adira sempat terhenti mendengar hal itu. Tapi ia tesadar bahwa si penelepon bukan sedang berbicara padanya, tapi pada Winda. Telepon terputus, Adira lega dan mempercepat langkahnya menuju stasiun.
Stasiun ramai seperti biasa, antrian tiket cukup panjang. Selama mengantri, tak sadar Adira menggoyang-goyangkan kaki karena cemas dan sangat terburu-buru. Ia takut nanti Hp itu berdering lagi di tempat umum seperti ini. Cukup lama waktu berselang, tiket kereta sudah berada di tangan Adira dan ia menunggu di bangku tunggu penumpang yang cukup jauh dari pintu masuk stasiun. Ia mencoba melemaskan dirinya dan bernafas lega.
Beberapa menit berlalu namun kereta tak kunjung tiba, hingga tiba-tiba Hp itu berdering lagi. Aduh.
“Halo..?” Nada suara dari penelepon berubah. Seakan si penelepon tidak pernah menangis sebelumnya.
“Ya.. halo..” Jawab Adira.
“Ini siapa?” Kata orang yang disebut Putri itu, bertanya di telinga Adira. Adira bingung mengapa si penelepon menanyakan itu. Apa jangan-jangan.. aku ketahuan? Dengan spontan, Adira menjawab sesuai dengan apa yang telah ia pelajari. “Ini..Winda..”
“Bohong! Aku tahu kamu bukan Winda!” Tadi aku ke rumah Winda dan katanya Winda sedang di rumah sakit karena kecelakaan. Sekarang aku sedang di stasiun utnuk pergi ke rumah sakit tempat Winda di rawat. Mengakulah kamu!”
Adira buru-buru mematikan panggilan itu. Ia tidak sempat mencerna perkataan si penelepon. Ia menjadi begitu panik. Beberapa detik kemudian, telepon itu berbunyi lagi. Kali ini ia sangat panik karena ia sudah ketahuan. Ia tidak ingin menjawab telepon tersebut, tapi ia ditatap beberapa orang yang sedang menunggu kereta yang sama seperti dia. Adira pun menjwab panggilan telepon itu lagi.
“Halo..? Heh pencuri, jangan kira kamu bisa lari. Aku bisa melacak keberadaan kamu sekarang.” Kata si penelepon, makin terdengar agresif.
“Ini aku kok, Put. Winda.” Adira panik hingga tak terpikir lagi untuk mengatakan apa.
Tiba-tiba suara pengumuman kereta berbunyi.
“Kereta tujuan Jakarta akan segera tiba di jalur dua.” Suara wanita pemberi pengumuman terdengar kencang di tempat tunggu penumpang.
Adira lega, itu keretanya. Dengan spontan ia berjalan mendekati jalur kereta. Tanpa sadar ia masih memegang telepon genggam itu di telinganya. Suara penelepon pun terdengar kembali.
“Aku dengar pengumuman yang sama, pencuri. Berarti kita berada di stasiun yang sama. Sekarang, di mana kamu!”
Adira panik bukan main. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, tidak ada orang yang juga sedang memegang telepon genggam. Sekarang Adira  melihat ke seberang rel, ada perempuan yang sedang memegang Hp dan menatap kepadanya. Kereta Adira mulai terlihat kepalanya di ujung stasiun.
Perempuan itu berdiri lebih jauh dari padanya dan lebih jauh daripada pintu masuk stasiun. Itu dia. Adira melepas niatnya untuk menaiki kereta, dan segera mengambil kesempatan untuk keluar dari stasiun. Adira berjalan cepat menuju pintu stasiun yang cukup jauh dari tempatnya duduk tadi. Beberapa kali ia melihat ke arah perempuan tadi, yang kemungkinan adalah Putri si penelepon. Suara kereta mulai berderu kencang memasuki stasiun.
 Ketika Adira berjalan, perempuan itu masih menatapnya dan mulai berjalan ke arahnya. Walaupun berada di peron di seberangnya, Adira semakin berkeringat dingin melihat perempuan itu melangkah kepadanya. Ia mempercepat langkahnya tanpa memperhatikan orang-orang di depannya.
Adira sekarang mulai berlari, sambil terus menengok ke belakang, melihat perempuan itu masih berjalan ke arahnya. Terjadi begitu spontan, Adira menabrak seseorang di depannya. Badannya oleng ke arah jalur kereta, seiring dengan kereta yang sedang berderu memasuki stasiun. Kepala dan badan Adira bergesekan dengan badan kereta yang sedang melaju cepat namun melambat, berusaha berhenti di stasiun. 

Adira terhempas di atas aspal peron kereta, tak sadarkan diri. Darah keluar dari kepala dan badannya. Orang-orang yang sedang berdiri menunggu pintu kereta terbuka, beralih mengerubunginya. Hp yang tadi Adira genggam terlempar tanpa disadari orang-orang yang panik melihat kejadian barusan. Hp itu tergeletak di bawah kursi peron stasiun, jauh dari kerumunan orang, masih menampilkan wajah seorang perempuan dan berbunyi “Halo..? Halo..?”

2 comments:

Popular Posts