“Arrrghh.”
Porti berteriak ketika ia terjatuh di lubang kecil di tanah basah itu. Sudah
dua hari dia tersesat dan terpisah dari keluarga dan teman-temannya. Ia sangat
sedih, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia sendirian, satu-satunya yang
bersamanya sekarang adalah sebuah buku. Buku kesayangannya. Porti mengangkat
wajahnya akibat terjerembab di tanah, melihat bukunya tergeletak beberapa senti
di depannya. Porti membangkitkan dirinya, membersihkan tanah di badannya lalu
berjalan ke arah bukunya. “Pangeran dan
Bunga yang Indah.” Buku yang tergeletak di tanah itu menunjukkan judul dan nama
penulisnya. Jika dilihat, Porti hanya sepersekian bagian dari buku itu. Namun
nyatanya Porti dapat mengangkat buku besar itu.
Porti
melanjutkan perjalanannya yang dingin, karena habis hujan. ”Aku di mana?” Ia
tidak tahu di mana ia berada setelah hanyut di sungai dengan berperahu buku
kesayangannya, ia terdampar di ... entah daerah apa. Selama berjalan, tiba-tiba
Porti merasakan kehangatan. “Dari mana asalnya kehangatan ini?” Porti merasa
harus mencari tempat itu, karena ia sudah sangat kedinginan. Ia mengikuti rasa
hangat di tubuhnya, hingga ia menemui sebuah tembok besar. Di tengah-tengah
tembok tersebut ada sebuah jendela yang memancarkan cahaya oranye. “Hmm,
sepertinya dari sana asal kehangatan itu, tapi aku tidak bisa meraihnya,
jendela itu terlalu tinggi.” Ia mencari cara, namun fikirannya tidak fokus
karena terlalu kedinginan.
Tiba-tiba,
seekor tikus berlari melesat melewati kutu tersebut di sepanjang tembok. Porti
kaget dan berusaha memanggil tikus tersebut untuk meminta pertolongan.
“Hei,
tunggu, bisakah kau membawaku masuk?” Namun tikus itu terlalu cepat, dan tidak
melihat Porti, mungkin karena Porti sangat kecil. Porti melihat Tikus itu
berbelok di ujung tembok, dan tidak terdengar lagi. Porti hanya bisa menghela
dapas dan memeluki tubuhnya sendiri dengan tangannya. Ia duduk di atas
bukunya di bawah jendela hangat itu.
“Paling tidak, di sini sedikit hangat..”
“Psst,
hei, hei, di sini!” Porti hampir tertidur ketika ia mendengar suara panggilan itu.
Ternyata itu adalah tikus tadi. Sekarang tikus itu berada di kusen jendela di
atasnya. “Hei, apakah kau mau masuk?” seru tikus itu kepada Porti.
“Iya,
tolong angkat aku, aku kedinginan di sini,” kata Porti
“Ini,
peganglah tali ini.” Tikus itu mengulurkan tali dan menahannya dengan giginya.
Si
kutu kemudian mengaitkan dirinya pada tali tersebut, sambil memegang bukunya.
“Sekarang kau bisa mengangkat aku.” Seru si kutu. Si tikus menariknya hingga si
kutu sampai ke kusen jendela.
“Hei,
terima kasih, aku kira tadi kau tidak mendengarku memanggilmu” ujar si Kutu.
“Kau
terlalu kecil, aku tidak melihatmu, kukira aku mendengar suara hantu, jadi aku
terus berlari. Lalu, aku mengecek ke jendela, ternyata ada kau, dan bukumu, ya
ampun bukumu berat sekali, aku hampir menyerah mengangkatmu.”
“Hehe,
maaf, terima kasih sudah mengangkatku. Jadi, ini tempat apa?” tanya Porti
sambil memandang berkeliling penuh heran.
“Ini
perpustakaan, kawan,” kata si tikus.
“Perpustakaan?
Apa itu?” tanya Porti.
“Tempat
para manusia membaca banyak buku. Tapi aku tidak beduli itu, aku hanya suka
makan, kau tahu.” Tikus itu menunjukkan perutnya yang buncit. “Terkadang manusia itu suka membawa
makanan, dan terkadang makanannya jatuh atau tertinggal, aku suka memakannya.
Aneh, manusia memasang larangan untuk makan di depan pintu perpustakaan ini,
kukira aku kehilangan harapan untuk hidup di sini, tapi ternyata para manusia
itu membawa makanan setiap hari.” cerita si tikus.
“Manusia
ya..aku pernah lihat mereka, salah satunya ada di bukuku ini.”
“Hmm.. jadi tentang apa bukumu
itu?”
“Ya,
kau tahu, aku ini seorang kutu. Dulu, aku dan ibuku menemukan buku ini di
sebuah tempat pembuangann. Ibuku kemudian sering membacakan cerita dalam buku ini kepadaku. Aku senang
sekali dengan ceritanya. Ceritanya mengenai seorang pangeran yang memiliki.....”
“Ya, ya, ya. Aku lapar, kau kutinggal dulu ya.
Perpustakaan ini sangat luas hanya untuk menampung dirimu yang kecil. Oh iya,
namaku Mets.” Tiba-tiba tikus itu memotong cerita Porti.
“Senang
bertemu denganmu, Mets. Namaku Porti.”
“Porti,
kau kutinggal dulu ya.”
Porti
menjelajahi perpustakaan itu. Ruangan itu besar, dengan banyak rak-rak buku berjejer
sepanjang ruangan. Sisa ruangan itu diisi dengan bangku dan meja, dengan
perapian di ujung ruangan itu.
“Oh,
jadi dari situ cahaya oranye dan kehangatan ini,” ujar si kutu ketika melihat
perapian yang menyala hangat. Ia menyeberangi ruangan, ia ingin mencari tempat
tidur yang nyaman untuknya.
“Wow,
buku ini memang berat ternyata.” Porti mulai lelah, hingga malam itu ia telah
mengarungi tanah yang tidak ia kenal hingga ia bisa sampai ke tempat hangat
yang pertama. Di depan perapian itu ada sebuah karpet, dan Porti bersiap untuk
tidur di atas karpet tersebut di depan perapian hangat.
“Meong!” Tiba-tiba seekor kucing melompat di atas Porti. Porti terkejut dan
takut hingga menutup mukanya. Saat ia membuka wajahnya, kucing itu sedang
menatapnya dengan garang.
"Sedang apa kau di sini?” tanya kucing itu dengan galak.
"A..aku Porti, aku tersesat, si tikus Mets yang membawaku ke dalam
sini."
"Ah tikus itu, sudah kubilang jangan membawa orang asing masuk.
Apalagi kau itu kutu! Hey, awas kau jika kau dan teman-temanmu menggangguku
lagi. Tidak enak harus menggaruk dan menjilati badanku terus," kata kucing
itu dengan marah.
"Aku tidak pernah mengganggumu, aku baru pertama kali ke sini."
"Kalau begitu bilang ke teman-temanmu! Untung saja manusia baik di
perpustakaan ini mau memandikanku sehingga tubuhku tidak gatal lagi," ujar
si kucing dengan geram.
"Apa kau sudah lama tinggal di sini? Siapa namamu?” tanya Porti.
“Aku Mika. Aku sudah
lama di sini, jadi kau jangan main-main ya. Dulu sebelum tikus Mets itu ada di sini,
ada seekor tikus lagi yang suka sekali mengganggu dan membuat suara bising.
Lalu, kutelan saja dia, hahaha.”
“Baiklah kalau begitu.
Hmm, di sini hangat, keberatankah jika aku tinggal tidur? Sepertinya aku akan
tidur di depan perapian ini. Aku dan bukuku sudah menempuh perjalanan yang jauh,”
kata Porti sambil mengantuk
“Di sini? Enak saja!
Di sini tempat tidur ku, di depan perapian yang hangat. Ya. Aku keberatan, jika
kau tidur, di sini. Jadi, pergilah, aku ingin tidur, di sini,” kata Mika dengan sinis.
Porti tidak bisa
melawannya, ia terlalu kecil. Bisa-bisa ia diinjak oleh Mika. Mika pun
sepertinya tidak berkeberatan menginjak Porti. Dengan bingung dan sedih, Porti berjalan
mencari tempat lain untuk ia tidur di dalam perpustakaan itu. Si kucing Mika
sudah berbaring di atas karpet hangat.
Di dekat perapian,
terdapat meja-meja kayu yang biasanya digunakan manusia untuk membaca. Porti
menuju ke salah satu meja tersebut. Walaupun kecil, ia dapat melompat jauh dan
tinggi. Ia melompat ke atas kursi disamping meja tersebut, dan melompat lagi ke
meja baca tersebut, dan ia masih membawa bukunya di atas kepalanya. Lalu ia
menjatuhkan bukunya di atas meja tersebut.
“Nah, di sini cukup
enak. Aku juga bisa melihat lebih luas perpustakaan ini. Perapian, meja baca,
rak buku, pintu masuk, ah itu dia tanda larangan manusia yang dikatakan oleh
Mets. Mungkin aku akan segera tidur di sini saja.” Porti meregangkan
otot-ototnya lalu tidur di atas bukunya. Sampul bukunya yang unik sedikit seperti
bahan beludru membuatnya nyaman tidur di atasnya. Ketika Porti hampir terlelap,
matanya yang setengah tertutup melihat sebuah bayangan mendekat kepadanya.
Namun ia terlalu mengantuk..
“Halo!” Sesuatu
memanggilnya dan Porti langsung membelalak dan terbangun kaget.
“Si..siapa kamu?”
Porti bertanya, antara mengantuk dan kaget.
“Aku Ramon, ketua para
rayap di sini. Bung, maaf, tapi tadi bunyi gedebuk bukumu mengganggu kami
tidur. Lebih baik kau pindah dari sini.”
“Kalian tinggal di
mana?” tanya Porti.
“Di laci meja di
bawahmu, bung. Kami banyak sekali, aku takut jika kau tidak pindah,
saudara-saudaraku akan keluar semua dan memakanmu, meskipun..yah kau tidak enak
di makan, kau tahulah maksudku,” jelas si kutu.
“Baiklah, aku
mengerti. Tapi aku lelah sekali, aku dan bukuku sudah berjalan jauh, kau tahu
bagian mana dari perpustakaan ini yang bisa aku tiduri dengan nyaman?”
“Lihatlah
sekelilingmu, perpustakaan ini luas, mungkin kau bisa tidur di salah satu rak,
lagipula bukumu itu lebih pantas berada di sana.”
“Aku mengerti, tapi
bukuku ini spesial, aku tidak akan membiarkannya bersama buku-buku lain.”
“Ya, terserah kau
saja, aku hanya takut kau membangunkan saudara-saudaraku.”
Ramon menutup
pembicaraan tersebut dan kembali ke laci meja. Porti melompat turun dari meja
kayu itu dan berjalan ke barisan rak buku yang dikatakan oleh Ramon. Ia
berjalan, berjalan, memikirkan rak buku mana yang lebih baik ia naiki. Hingga
ia sampai pada barisan rak buku paling akhir. Porti memilih rak buku tersebut
dan melompati hingga dibagian rak keempat dari bawah. Dalam rak tersebut ada
banyak buku namun ada bagian yang kosong sehingga Porti dan bukunya dapat masuk
ke salah satu rak tersebut.
“Akhirnya, aku bisa
tidur sekarang, di sini juga lumayan pemandangannya, lebih tinggi daripada di
meja rayap itu.” Porti pun mengambil posisi seperti tadi ia hampir tertidur di rak
tersebut, namun tiba-tiba..
“Selamat malam!” seru
suara dari dekat Porti.
Porti tersentak kaget.
Di hadapannya kini ada laba-laba besar berawrna hitam dan menyeramkan.
“Ah, tidak! Jangan
makan aku!” seru Porti sambil melindungi wajahnya dengan tangannya yang kecil.
“Makan? Oh tidak, aku
sudah kenyang, lagipula aku tidak akan memakan kamu. Dari mana asalmu?” tanya
si laba-laba.
“Dari...tidak tahu,
aku juga tidak tahu ini di mana. Aku sudah terlalu lelah, aku dan bukuku sudah
berjalan jauh, bisakah aku tidur sekarang?”
“Nampaknya kau sangat
menyayangi bukumu ya?” tebak si laba-laba dengan nada bijak.
“Tentu, cerita di buku
ini sangat bagus dan aku suka membacanya ketika.... hoaaahhmm.. ketika aku ingin
membaca,” cerita Porti, sambil mengantuk.
“Baiklah, namaku
Edward. Berhati-hatilah, jangan bangun kesiangan, karena jika sudah pagi,
manusia-manusia itu sudah akan menelusuri setiap rak buku di sini.”
“Namaku Porti. Tentu
saja, Edward... aku.. sudah terbiasa bangun, hoaaaahm.... pagi-pagi sekali,” kata
Porti, setengah tidak mendengarkan karena sudah setengah tertidur. “Selamat
malam,” Porti mengakhiri percakapan malam ini. Ia tertidur di dekat bukunya,
dan Edward si laba-laba tidur di jaringnya dengan posisi terbalik di sudut atas
rak tersebut.
Porti tertidur dengan nyenyak. Dalam
mimpinya, ia bermimpi tentang bukunya. Porti saat ini sedang menjadi seorang
pangeran. Pangeran itu memiliki istana dengan halaman yang luas. Namun, selama
ini tak ada satupun bunga yang tumbuh di halaman tersebut. Suatu hari, ketika
pangeran terbangun di pagi hari dan berjalan-jalan di halaman, ia melihat ada
setangkai bunga tumbuh dari halamannya. Ia amat senang karena bunga itu adalah
bunga pertama dan satu-satunya yang tumbuh di halaman tersebut. Ia merawatnya
selalu, menyiraminya dan memupukinya.
Beberapa hari kemudian seorang gadis
lewat di depan halaman rumahnya. Gadis itu melihat sang pangeran sedang merawat
bunganya. Lalu gadis itupun menghampiri sang Pangeran.
“Permisi.. bunga yang indah..” ucap
si gadis.
“Ya, tentu, ini bunga pertamaku, aku
merawatnya setiap hari,” kata pangeran, sedikit terkaget karena tiba-tiba ada
orang yang datang.
“Aku juga memiliki satu bunga di
halamanku. Hanya satu. Maukah kau memberikan bunga itu kepadaku? Agar bunga itu
bisa berkembang biak.”
“Apa? Tentu saja tidak! Ini bungaku
satu-satunya. Sekarang, pergi saja kamu!” seru sang pangeran dengan galak.
Gadis itu terdiam, merasa sedih, lalu
ia keluar dari halaman sang pangeran. Beberapa hari kemudian, gadis itu kembali
lagi ke halaman istana pangeran dan lagi-lagi melihat pangeran sedang merawat
bunganya. Gadis itu meminta lagi kepada Pangeran agar memberikan bunganya.
Tetapi pangeran masih tidak mau.
“Tidak! Tidak! Ini bunga kesayanganku,
aku tidak akan memberikannya kepada siapapun!”
Beberapa hari kemudian gadis itu
datang lagi meminta hal yang sama, dan pangeran masih bersikeras. Hari berganti
hari, gadis itu tetap datang dan datang lagi. Pada akhirnya, pangeran pun luluh
terhadap permintaan gadis tersebut yang sudah sering sekali ke halaman rumahnya
meminta bunga padanya.
“Baiklah, akan kuberikan bungaku
padamu, tapi suatu saat aku akan mengunjungi halamanmu agar aku bisa melihat
bungaku lagi.”
Gadis itu senang sekali dan berterima
aksih kepada sang pangeran, ia membawa bunga itu ke halaman istananyanya, dan
menanamnya disamping bunganya yang juga cuma satu-satunya. Beberapa hari kemudian,
di halaman si gadis tersebut tumbuhlah satu bunga baru. Semakin hari, semakin
banyak bunga yang tumbuh di halamannya dan pada akhirnya memenuhi halamannya.
Pada suatu hari, pangeran berkunjung
ke rumahnya untuk menengok kembali bunganya. Alangkah kagetnya ia ketika
melihat bunga yang sangat banyak di halamannya. Bunganya telah berkembang biak
dan menjadi banyak dan indah. Pangeran terharu dan meneteskan air matanya.
Gadis itu tersenyum kepada pangeran, gadis itu mengatakan terima kasih atas
pemberian bunganya. Pangeran itu tersenyum ia yang kemudian berterima kasih
kepada gadis, karena mengajarkannya arti memberi. Akhirnya sang gadis
memberikan sebagian bunganya kepada pangeran, dan pangeran menanamnya di
halamannya. Halamannya pun menjadi halaman paling cantik seantero kerajaan
tersebut.
Porti terbangun dari tidurnya.
“Hoaaahm... selamat pagi! Selamat pagi, Edward!”
Edward menjawab, “Selamat pagi juga Porti, pagi yang
indah.”
“Begitu indah, lelahku hilang,
sekarang aku dan bukuku dapat meneruskan perjalananku.”
Porti melihat ke samping badannya tempat ia mengingat
menyimpan bukunya, namun buku itu sudah tidak ada. Porti kemudian panik.
“Edward! Edward! Bukuku hilang,
bukuku hilang! Apa kau melihat bukuku?”
“Tidak, Porti, dari semalam aku
bergantung di sini sambil tertidur.”
“Oh tidak, tidak, ini tidak mungkin
terjadi, Edward!” kata Porti, panik.
“Tenang, Porti. Kemungkinan bukumu
sedang dibaca oleh manusia.”
“Apa? Manusia? Oh tidak, jangan
sampai manusia itu merusak bukuku!”
“Manusia hanya membacanya.
Ya..mungkin ada manusia yang sedikit kasar dengan buku sehingga ada beberapa
bagian yang disobek, tapi tenang saja.”
“Bagaimana aku bisa tenang? Aku
kehilangan bukuku, Edward! Di mana aku bisa mencarinya?”
“Coba kau cari di meja membaca,
biasanya manusia mengambil buku lalu menmbaca di situ.” Kata Edward, berusaha
memberikan ide.
Porti pun melompat turun dari rak
buku. Ia berlari ke arah meja-meja membaca, yang ia sempat bersinggah untuk
tidur di atasnya. Porti berharap rayap-rayap itu tidak ada di sana. Ia naik ke
salah satu meja yang tidak ditempati oleh manusia. Ia melihat ke meja-meja
sekitarnya. Akhirnya ia melihat bukunya sedang dibaca oleh seorang gadis. Gadis
itu terpaku membaca bukunya. Porti mencoba untuk mengambil buku itu dengan
mencari kesempatan. Ia sudah bersiap di dekat bukunya bersiap mengambilnya.
Sang gadis tiba-tiba menoleh ke belakang, teman perempuannya menghampirinya,
dan ia berbicara dengan temannya itu. Inilah saatnya, dalam hati Porti. Porti
mendorong bukunya ke pinggir meja hingga akhirnya terjatuh. Namun sayang
sekali, buku itu jatuh tepat menimpa Mika si kucing yang ternyata sedang tidur
di samping meja.
“Meow! Hei, kutu, kurang ajar kau menjatuhkan
bukumu di kepalaku. Akan kubunuh kau!”
“Maafkan aku, aku tidak sengaja,
sungguh, jangan bunuh aku!” sahut Porti yang masih berada di atas meja.
“Turun kau sekarang! Atau aku hancurkan
saja buku ini!” ancam Mika.
Sesaat sebelum si Mika menerkam buku Porti, sang gadis
sadar bahwa bukunya terjatuh. Gadis itu segera mengambil buku menjauh dari Mika
lalu malah mengelus-elus si kucing. Mika pun diam saja, namun masih menyimpan
dendam.
“Lihat saja nanti balasanku, kutu!”
seru Mika.
Gadis meneruskan membaca sebentar,
tersenyum, lalu menutup bukunya. Temannya tadi sudah berjalan menuju pintu
keluar perpustakaan. Kemudian gadis itu mengejar temannya tersebut sambil
membawa bukunya. Porti melihat bukunya semakin menjauh, ia semakin merasa
sedih.
“Oh tidak, aku tidak akan melihat
bukuku lagi.” Kata Porti dengan sedih.
Tiba-tiba Edward si laba-laba
menghampiri Porti di meja baca. “Tidak apa-apa Porti. Kau tahu, buku itu mungkin
penting bagimu dan membuatmu senang, namun jika kau berbagi dengan yang lain,
orang lain juga akan merasakan kesenangan tersebut, dan itu menyenangkan,
Porti. Coba perhatikan..”
Gadis itu memberikan bukunya pada
temannya, ia berbicara sedikit mengenai buku itu. Temannya terlihat senang, ia
tersenyum dan kemudian memeluk temannya. Kemudian teman sang gadis itu pergi
membawa buku Porti. Buku itu akhirnya dipinjam oleh teman gadis tersebut.
“Lihat, kau bisa menebar kebaikan dengan
merelakan bukumu, Porti. Lihatlah senyuman pada manusia itu, senyuman bahagia,
kau memberikan manfaat kepada mereka, Porti.” Edward si laba-laba berkata
dengan bijak.
Porti baru tersadar apa yang telah
dilakukannya. Selama ini ia terlalu menyayangi bukunya sehingga ia tidak mau
memberikan bukunya kepada siapapun. Ia pun berkata pada Edward. “Ya, Edward,
sekarang aku tahu arti memberi. Seperti pangeran di dalam buku kesayanganku.
Syakira Rahma - Pramuda FLP 18