My Chocolate Shake
a random blog, where reality and fiction met.
Saturday, July 4, 2020
Tuesday, May 26, 2020
Catatan Ibun - My New Blog!
Tuesday, November 12, 2019
Do You Worth a Perfect Life?
Like, you know the perfect way, you get up, pray, take bath, cook healthy for family, do chores, power nap, be productive, make money, sexy time, educate children, inspiring people, change the world!
You know exactly the dream of perfect life can be achieved. You know it, but you just don't do it.
So how do you deserve that perfect life?
Wednesday, October 30, 2019
Disonansi Ibu-Ibu Millennial
Anak millenial itu pinter2 loh. Wajar soalnya orangtuanya berusaha untuk menyekolahkan anaknya hingga jenjang tinggi baik S1 maupun S2. Pasti lebih kritis, lebih conscious dan berwawasan luas dan terkini.
Masalahnya, saat anak2 millennial ini berubah jadi IBU Millennial, dia malah dicekoki 'ilmu turun temurun" mengenai parenting atau perawatan anak. Salah atau benar nya lihat di mana? Let's see..
Bagi ibu2 millennial yang sudah sekolah tinggi2, pasti gak afdol utk melakukan suatu hal tanpa BACA atau RISET terlebih dahulu. Apalagi soal pengasuhan anak. Apalagi jaman ini canggih, tinggal googling, tinggal beli buku online dikirim besok sampai, atau malah beli e-book aja tinggal click Bayar.
Tapi, bagi orangtuanya ibu2 millennial, pengalaman adalah guru terbaik.
Masalahnya, ilmu yang didapatkan oleh ibu2 ini, di banyak kesempatan tidak cocok dengan ilmu dari pengalaman orangtuanya. Apalagi yang berbau mitos. Tentunya ibu millennial ini mempertanyakan kebenaran dari 'ilmu' yang dipaparkan orangtuanya. Bukan serta merta merendahkan, tapi lebih ke cross-check dari ilmu terkini dan tentunya cross-check dengan hati nurani ibu.
Di sini terjadi disonansi. Alias kegalauan. Hehe
Do i believe this? Will i do it to my child? Is it right?
Nah masalah kemudian, terkadang ketika pihak orangtua ibu millennial merasa ilmunya tidak dipilih/dipakai, jadi malah merasa tersinggung, terhakimi, merasa dibodohi. Ibaratnya "lah berarti selama ini lu blg parenting gw salah?" Jadilah kami, ibu millennial di judge sok tau, gak bersyukur, ga menghargai, dsb dsb. Ujung2nya malah seringkali dipaksa untuk mengikuti 'ajarannya'.
Sebagai ibu millennial yang sayang orangtua, pastinya takut dong kualat kalo melawan orangtua? Akhirnya terkadang melakukan anjuran orangtua yang sebenarnya dalam hati tidak diyakini kebenarannya. Kadang tetep gak dilakukan kalau lagi gak bareng, gitu lah. Jadi, buat nyenengin aja biar ga dosa.
Jadi, siapa yang benar, siapa yang salah? Hmm yaa tergantung perspektif.
Well, itu cerita salah satu disonansi Ibu Millennial, yg kritis dan kebanjiran informasi terkini soal pengasuhan anak, tapi memiliki beban rasa syukur telah disekolahkan dengan baik oleh orangtua sehingga mau gak mau harus nurut dengan orangtua.
NB: Ini Ibu Millennial budaya timur ya hehe.
Wednesday, October 9, 2019
Pak, Bu, Kenapa Sih Ajak Anak Nonton Joker?
Sekarang ini lagi trending film Joker, film tentang kehidupan psikopat yang biasanya muncul di film Batman. Film ini memiliki rating 17+ alias rated R (Restricted). Lalu, banyak yang bilang film ini terlalu 'gelap' dari sisi psikologis sehingga muncul ketidaknyamanan, sehingga ada peringatan tidak resmi dari netizen untuk jangan ditonton oleh orang yang sedang depresi, atau sedang tidak dalam kondisi mental yang baik. Untuk berusia usia 17 tahun pun katanya disarankan untuk dibimbing saat menonton film ini (apalagi di Indonesia yang biasanya Mental Age anak usia 17 tahun masih kayak ABG labil)
Herannya di Indonesia, di studio di mana film Joker ditayangkan, banyak anak kecil dari balita sampai anak SD banyak yang hadir. I was like, please lah bapak ibu, emangnya dipikir anaknya belum ngerti apa2 meski usianya 3 tahun? Emang yakin anaknya yang SMP SMA udang 'mateng' secara mental untuk nonton film tanpa dibimbing? Emang yakin anaknya ga bakal jadi psikopat atau nyerap apapun hal negatif yang ditunjukkan Joker?
Emang siapa sih yang salah, orangtua atau pihak bioskop yang tidak tegas terhadap aturan rating film?
Aku bilang, dua duanya dong! Jangan asal nyalah2in pihak lain.
Pasti, akan lebih mudah bila adanya aturan yang tegas dari pihak berwenang yakni bioskop untuk menolak apabila ada yang belum cukup umur. Kalo perlu mah sampai nunjukkin KTP kalau yang dirasa ga sesuai usia (kalo di luar negeri gitu tuh soalnya kadang mukanya tua tapi ternyata belom 17 taun wkwk)
Tapi, ya sudah kalo negara ini belum maju, orangtua lebih maju dong. Tegas sama anaknya sendiri. Jangan asal ajak2 anak karena ga pingin ketinggalan film, tapi mengorbankan perkembangan psikis anak. Serius lho kalau anak ga bisa nangkap dengan baik, kalo ga dibimbing, bener2 bisa jadi psikopat kayak Joker! Anak2 itu pintar, jangan anggap anak bakal lupa atau tinggal dibilangin aja "jangan ditiru ya nak", tidak semudah itu Ferguso!
Hal ini sebenernya ga hanya terjadi saat ini aja di film Joker. Udah dari duluuu film film dewasa bisa ditonton anak kecil. Aku ngalamin loh, pas SMP diajak nonton sama temen2 film horor sexy Indonesia gitu (guilty i know). Anyway, bukan salah orangtuaku, karena mereka ga tau, aku yang bandel ga bilang2 kalau aku ke bioskop. Padahal dulu ke bioskop masih pake rok SMP, tapi segitu gak ada larangannya di bioskop.
Ga usah jauh2 di bioskop deh, di TV di rumah juga sering. Sinetron-sinetron yang rating 17+ atau tayangan lain dengan rating Bimbingan Orangtua. Bahkan film dewasa juga tayang malam2 di TV. Tinggal tugas orangtua yang gimana mendidik anaknya.
Dulu sih waktu kecil (kayak usia SD-SMP gitu) aku udah disuruh bobo jam 9, kalaupun ga bisa tidur, aku nonton film box office di TV macem Titanic gitu bareng orangtua-ku. Pas adegan2 ciuman atau sexy chanel dipindahin, atau disuruh tutup mata, atau ketika film terlalu sadis. Ya well, not the best way tapi, aku jadi tau, mana yang tabu mana yang sadis atau engga, dan bagaimana reaksi yang wajarnya. Misalnya ketika nonton film yang sadis ya meringis, gak tega, bukannya jadi excited lihat orang dibunuh. Karena ya pas nonton bareng orangtua, orangtuaku bilang kayak "aduh jangan dilihat nak, serem." Atau "jahat banget ya", bukan hanya diam saja.
Lalu kemudian aku jadi tau, kalo aku lagi nonton suatu film di TV bareng adikku, aku tau mana bagian yang harus dihindari mana yang tidak, mana yang harus diberi penjelasan mana yang tidak. I'll do the same way to my kids, probably better, karena aku gak mau tertutup saat bicara soal seks dan kekerasan, tidak seperti orangtua generasi X (hehe semoga).
Aku gak tau kalau orangtua lain bagaimana, tapi banyak sih anak2 skrg yang di kamarnya ada TV sendiri. Bahkan punya smart gadget di mana bisa streaming film di gadget ya kan. Udah ga ke filter lagi itu film2. Pantas lah Indonesia ga maju2. Anak2nya keburu berpikiran 'dewasa', bahkan mungkin secara gak langsung terdidik jadi anak yang tidak stabil secara mental, karena ditontonin film2 atau tayangan yang bukan usianya, meskipun cuma sekali!
Buat kasus di bioskop ini. Please, kepada pemerintah, tegaskan, beri sanksi pada bioskop yang membolehkan penonton yang bukan usianya.
Kepada orang tua, tolong lebih bijak. Pahami rating film dan alasan kenapa anak kecil harus dibimbing saat menonton SETIAP film.
Wednesday, October 2, 2019
Privilage is Luxury
Aku punya kenalan. Aku gak bisa bilang dia siapanya aku karena pasti obvious banget. Dia bukan dari kalangan berada dan berpendidikan tinggi memang. Intinya dia punya cucu berumur 4 tahun. Anak dan menantunya harus gali lubang tutup lubang untuk kehidupan sehari-harinya, tapi yang lebih berat adalah cucunya ini tidak mau makan, hanya mau minum susu dan snack seperti wafer atau biskuit. Jadi lah setiap hari orangtuanya harus mengeluarkan 50ribu untuk membeli susu Dan*ow, dan beli snack2. Itu cuma buat anaknya aja lho. Padahal menantunya hanya tukang ojek online dan anaknya ibu rumah tangga. Dia rela hanya makan nasi dan kerupuk atau bakwan agar cucunya minum susu. Gigi cucunya sudah gripis (aku nyebutnya gitu), rusak karena sering makan makanan manis.
Wow. Jujur, ilmu tentang memberi makan anak baru aku pelajari saat babyA lahir. Ilmunya memang banyaaak sekali. Banjir. Tapi semua ilmu itu make sense. Bagaimana sebaiknya anak makan, bagaimana mengatasi kesulitan makan, dan bagaimana membiasakan anak makan bersama keluarga, makan makanan keluarga dan justru menjauhi snack dan susu yang tidak diperlukan. Dan pastinya, berdasarkan yang aku pelajari, pola makan kayak di atas itu udah salah banget. Well, mamak milenial pasti udah tau kan seharusnya yang benar gimana?
And i can do nothing about it. (Well beside a little of extra money, dan obrolan2 kecil tentang gimana membiasakan anak makan)
Bagiku, 50rb perhari itu lumayan banget, bahkan kadang bisa untuk makan aku dan suami siang dan malam, plus makan anakku. I think i'm blessed. Dengan ilmu, informasi, dengan privilage, aku justru bisa menjangkau makanan yang justru lebih murah dari cucu kenalanku itu, padahal tingkat ekonomi keluargaku jauh lebih tinggi (alhamdulillah).
Aku juga sebenernya masih struggle dengan kebiasaan makan anakku. Karena babyA BLW, jadi aku kadang masih suka stress kalau makannya berantakan, sedikit, atau buang2 makanan. Tapi aku bersyukur banget, aku punya banyak akses informasi, akses ilmu, sehingga aku tau bagaimana yang baik, bagaimana step by step, bagaimana cara agar mengatasi masalah makan, aku juga mudah untuk konsultasi ke dokter apabila ada masalah.
Privilage is a luxury.
Bersyukur sebanyak2nya apabila kita tahu informasi meski sedikit. Karena banyak di luar sana (bahkan di dekat kita) yang gak tau, karena ga punya previlage.
Tuesday, October 1, 2019
You Don't Have to Explain Anything to Anyone
Maaf ya lagi-lagi ngomongin soal ibu2. Haha maklum emang udah jadi ibu2. Melihat fenomena ibu2 milennial sekarang ini yang semua punya instagram, belum lagi hobby sharing di Instagram, social media sekarang sudah banjir sekali ilmu soal parenting. Bahkan bukan hanya ilmu sih, lebih ke pengalaman juga. Aku sebagai netizen pun kadang tertarik dengan konten yang di share beragam ibu2 mulai dari yg terkenal sampe temen sendiri.
Ketika membaca konten yang dikemukakan ibu2 sharer itu, yang aku tangkap kesannya adalah, mereka selalu menjelaskan kenapa anaknya begini, kenapa anaknya begitu, kenapa keputusannya begini, kenapa begitu. Namun dalam kesan yang bukan free-sharing, tetapi explaining. Kesan yang kutangkap itu lebih seperti, "aku melakukan hal-hal ini karena seribu alasan, so don't judge me"
Ibu-ibu sekarang kayak takut di judge karena pilihannya dalam membesarkan anak, soalnya sekarang semacam ada "standar sosial" dalam mengasuh anak yang gaktau asal mulanya dari mana. Itulah yang jadi beban ibu-ibu milenial. Kayaknya ngasuh anak harus sesuai teori, harus perfect, dan... harus dishare di sosial media. Wkwkw. Emang social media itu isinya yang perfect2 aja yakan?
Mari balik lagi ke topik. Jadi, isi dari sebagian besar ibu2 sharer itu lebih kayak pembuktian2, bahwa 'ini lho aku sudah melakukan parenting sesuai teori'. Jadi lah muncul musuh dalam selimut ya kan, yang katanya sharing jadi rada shaming. Lalu timbul mom-competition secara tidak langsung. Jadi toxic lah intinya. Auto unfollow deh, haha.
Jujur aku lebih suka sharer yang genuine, benar2 sharing pengalamannya, pembelajarannya, bahkan berani menceritakan penyesalannya dan perasaannya. Bacanya juga jadi lebih free bukan malah tertekan. Lagipula, setiap anak, setiap orangtua itu berbeda2 dan tidak semuanya harus sama dengan teori.
You are the best parent for YOUR child.
bukan anak orang lain, jadi orang lain tidak berhak menjudge kamu, keputusanmu dsb. Apalagi kalo gak ditanya! Wkw. Be free, be you.
Popular Posts
-
Haloooo para pembuat makalah!! *anak psiko bergetaar*. Sudah sampai mana bikin makalahnya? Udah jadi? Wait, jangan lupa daftar isi, dafta...
-
Hai, kalian waktu kecil pasti suka nonton Tv kan? Saya suka bangeet. Apalagi buat 90's kids nih, pasti suka nonton film2 kartun yang d...
-
Salah satu temanku di F. Psikologi, semester lalu mempresentasikan materi pada kelas Psikologi Konseling. Ia mendapatkan tugas mengenai kon...
-
Halo semuaaa. Apa kabar? :) Sudah hampir seminggu nih gw gak nge-blog, maklum gw lagi UAS nih. Rasanya lumayan lega, seminggu ini belaja...
-
Setelah membuat daftar isi, perlu juga untuk membuat daftr gambar, tabel dan figur-figur yang ada dalam makalah kita nih. Caranya agak sed...