Monday, April 8, 2013

Merelakan


“Mira, cepat ke rumah gue. Gue depresi dan nggak tau harus gimana lagi. Rasanya kayak mau mati.
Kata-kata itu muncul pada sebuah pesan singkat di layar Hp Mira, membuatnya terlonjak dan segera menghabiskan makan siangnya di rumah. Hujan gerimis dan angin dingin tak membuat Mira ragu untuk mengunjungi rumah yang hanya berjarak satu blok dari rumahnya. Hatinya gelisah sejak sahabatnya menceritakan kabar menyedihkan padanya kemarin siang. Mengingat hal itu, ia memantapkan langkahnya, halaman rumah besar yang luas dan penuh bunga menyambut dirinya.
Mira mengetuk pintu kayu pada rumah besar itu, pintu yang sekarang sudah pudar warnanya, tak seperti dulu sekitar 13 tahun yang lalu. Sudah sering sekali ia menunggu di depan pintu itu. Masih sama bentuknya, besar, penuh ornamen, dan ada bel yang tertempel di samping pintu. Mira tahu, orang di dalam rumah itu tak suka apabila tamu di luar membunyikan bel. Ketuk dahulu pintunya, dan jika masih belum dibukakan, baru boleh membunyikan bel.
Hanya sekitar 10 detik setelah Mira mengetuk, pintu dibuka oleh seorang wanita muda.
"Oh, neng Mira. Mari masuk aja, neng. Neng Debi ada di kamarnya." Kata wanita muda itu dengan ramah.
"Iya makasih, mbak."
"Mau minum, neng? Yang biasa? Sirup mangga, pake es?" Kata si mbak yang memang sudah hafal pesanan Mira jika berkunjung.
"Hmm..nggak deh, mbak. Terima kasih.”
“Oke deh. Kalau ingin sesuatu bilang ya, neng. Oh iya, mbak khawatir si neng Debi kenapa-kenapa. Dari tadi malam dia nggak keluar kamar, nggak mau makan juga. Besok kan sekolah, gimana kalau neng Debi juga nggak mau masuk sekolah ya?” Kata si mbak yang wajahnya terlihat cemas.
“Oh begitu, aku langsung ke atas aja ya, mbak."
Mira menaiki tangga melingkar ke lantai dua. Lantainya dingin, mungkin karena udara menjelang hujan. Setelah melewati tangga, hanya jalan beberapa langkah ia pun bertemu pintu di sebelah kanan yang bertuliskan "Debi's Castle”. Mira terdiam sebentar, tidak ada suara dari dalam, atau dari manapun. Rumah ini hening. Baru sekitar 10 menit yang lalu ia mendapat pesan singkat untuk segera datang dan ia sekarang sudah berada di sini, bingung harus melakukan apa.
"Deb.." Panggil Mira sambil mengetuk pintu.
"Iya, masuk aja, Ra." Sahut seorang perempuan dari dalam kamar.
Pintu kamar berderit seraya Mira masuk ke kamar bercat putih itu. Sebenarnya jika keadaannya sedang tidak seperti ini, biasanya Mira bahkan tak perlu mengetuk terlebih dahulu. Mereka sudah berteman sejak kecil, dan satu sekolah pula sampai SMA saat ini.
Kamar itu berukuran sedang, tak ada yang terlalu mencolok kecuali seprai kasur single yang bergambar Angry Birds dan juga rak buku yang berisi deretan novel fiksi terkenal.  Mira melihat sahabatnya sedang duduk di atas kasurnya sambil memandangi Hp di tangannya. Matanya sembab, ia masih menangis.
"Hai. Masih sedih?" Mira hanya bercanda. 
"Menurut lo?" jawab Debi dengan kesal.
"Ya.. kan gue nggak mau lo sedih. Jelek mukanya tuh, lihat." Ledek Mira.
"Tapi kan memang sedih, nggak bisa di tahan."
"Emang gimana sih, kok bisa?" Sebenarnya Mira sudah tahu kejadiannya. Mira kira dengan bertanya, Debi akan merasa lebih diperhatikan.
"Ya..gitu. Dia pergi begitu aja, ninggalin gue. Udah ah, nggak mau cerita lagi." Debi mulai terisak.
"Dia merasa kalo lo udah nggak sayang sama dia, mungkin?"
"Kalau gue nggak sayang, gue nggak akan nangis begini, Ra!" Debi makin tersedu, kesal dengan sahabatnya yang malah meledeknya.
"Eits, iya, iya, jangan ngamuk. Kan kadang, orang baru tahu kalo dia sayang sama sesuatu ketika sudah kehilangan. Mungkin aja waktu itu lo nggak terlalu menunjukkan rasa sayang dan perhatian lo ke dia, jadi dia pergi. Terus lo baru sadar deh ketika dia udah pergi."
"Ah, apaan sih, Ra. Jadi ini salah gue?" Debi agak kesal dengan temannya yang kadang sok bijak.
"Enggak juga sih, mungkin juga memang udah saatnya..."
Debi terdiam. Ia masih melihat-lihat foto-foto kenangannya di Hpnya. Foto Debi dengan kesayangannya. Mira sebenarnya turut sedih tapi ia tidak ingin memperburuk keadaan, ia hanya mengamati Debi.
"Susah move on, ya?" ledek Mira untuk memecah keheningan.
"Apaan sih, wajar dong! Kan udah 3 tahun gw sama dia. Huhuhu."
"Nanti pasti ada penggantinya kok." kata Mira meyakinkan.
"Tapi gue gak mau. Maunya cuma dia!"
"Kan dia udah pergi. Yakin nggak mau penggantinya? Mana tahu, dapat yang lebih baik. Lagi pula, dia kan udah tua. Hehe." Mira meledek lagi.
"Tapi nggak ada yang lebih baik selain dia." Kata Debi, masih menyangkal.
"Deb, lo kira di dunia ini isinya ada berapa makhluk hidup? Banyak Deb! Santai aja, lo mungkin belum jodoh aja sama yang satu ini." Kata Mira, sok bijak.
"Terus gimana gue bisa ngelupain Diko?"
"Gak harus dilupain sih, tapi direlakan. Kalau memang takdirnya pergi, ya lepaskan untuk pergi.“ Mira mulai sok bijak lagi untuk menghibur Debi yang sebenarnya menyadari hal itu.
Kemudian, suasana berduka dan agak canggung itu pecah begitu saja. Mereka terkejut mendengar sebuah suara dari luar jendela kamar Debi. Suara mengeong dari seekor anak kucing di luar. Mereka segera melihat keluar jendela, dan melihat kucing itu tepat di bawah jendela kamar Debi
"Ra, kucing, Ra!" seru Debi.
Mereka berdua segera keluar rumah, melihat anak kucing berwarna coklat sedang kebingungan dan mengeong-ngeong di tengah semak berbunga di bawah jendela kamar Debi. Debi dan Mira perlahan mendekati anak kucing itu. Anak kucing itu terlihat takut dan tetap berdiri diam.
"Hai kecil, mamamu mana?” Debi seakan bisa berbahasa kucing. “Sini, sama aku aja." Saat berbicara dengan kucing kecil itu, raut wajah Debi menjadi lebih ceria. Dengan lembut ia menggendong anak kucing itu. Langsung saja Mira menyahut.
"Tuh kan benar, pasti dapat penggantinya kan?" Mira menunjukkan cengirannya, membuat Debi hampir ikut tersenyum lebar, tetapi tidak jadi karena gengsi.
"Ah diam lo. Kucing ini mau gue rawat aja, kasian nggak ada mamanya." Kata Debi, galak. Seperti ibu-ibu pemarah yang sedang menggendong anaknya.
"Disayang ya, Deb. Jangan sampai pergi lagi."
"Ah tadi kata lo santai aja, kalau pergi berarti belum jodoh.” Ujar Debi, menirukan gaya bicara Mira dengan berlebihan. “Terus nanti akan datang lagi penggantinya. Jodoh kan gak kemana." Lanjut Debi.
"Tapi kan lo juga harus berusaha untuk menjaganya. Kalo nggak berusaha, lo nggak jadi jodoh siapa-siapa, single melulu hidup lo."
"Ih, malah topiknya jadi galau-galau cinta begini. Males ah. Gue single gini masih happy aja tuh." Sekarang Debi yang meledek Mira.
Kehilangan Diko, si kucing kesayangannya, memang berat bagi Debi. Tapi, tak ada yang bisa disalahkan. Kalau memang sudah takdir, apa yang bisa diperbuat?
Kedua remaja itu kemudian  masuk ke dalam rumah dan larut dalam kegembiraan baru dari si kecil pendatang baru. Kucing kecil itu akhirnya diberi nama “Dira”, ia seekor betina. Sampai sekarang, Dira selalu membawa kebahagiaan yang sama seperti dulu bersama Diko. Bahkan lebih besar, setelah Debi telah rela melepas Diko pergi.

***

Yang telah pergi, pasti akan kembali, walaupun tidak selalu akan sama. Misalnya seperti ketika kita bersedekah. Rezeki yang kita biarkan pergi, pasti akan kembali, bisa dalam bentuk pahala, atau rezeki lainnya, atau bahkan dua-duanya. Jika kita merelakan, bahkan yang kembali itu bisa jadi lebih baik karena sebenaranya hal yang terjadi, yang baik ataupun tidak baik itu tergantung bagaimana kita memandangnya, dan sejauh mana kita merelakannya. Jadi, relakanlah :)

* Terinspirasi tweets para jejaka Psilabus (@PsikoUI2011) edisi #merelakan
* Mohon maklum kalau versinya agak sinetron/teenlit gini, hehe

// Mengenang Chiko

No comments:

Post a Comment

Popular Posts