“Mira,
cepat ke rumah gue. Gue depresi dan nggak tau harus gimana lagi. Rasanya kayak
mau mati.”
Kata-kata itu muncul pada sebuah
pesan singkat di layar Hp Mira, membuatnya terlonjak dan segera menghabiskan
makan siangnya di rumah. Hujan gerimis dan angin dingin tak membuat Mira ragu
untuk mengunjungi rumah yang hanya berjarak satu blok dari rumahnya. Hatinya
gelisah sejak sahabatnya menceritakan kabar menyedihkan padanya kemarin siang. Mengingat
hal itu, ia memantapkan langkahnya, halaman rumah besar yang luas dan penuh
bunga menyambut dirinya.
Mira mengetuk pintu kayu pada rumah
besar itu, pintu yang sekarang sudah pudar warnanya, tak seperti dulu sekitar
13 tahun yang lalu. Sudah sering sekali ia menunggu di depan pintu itu. Masih sama
bentuknya, besar, penuh ornamen, dan ada bel yang tertempel di samping pintu.
Mira tahu, orang di dalam rumah itu tak suka apabila tamu di luar membunyikan
bel. Ketuk dahulu pintunya, dan jika masih belum dibukakan, baru boleh
membunyikan bel.
Hanya sekitar 10 detik setelah Mira
mengetuk, pintu dibuka oleh seorang wanita muda.
"Oh, neng Mira. Mari masuk aja,
neng. Neng Debi ada di kamarnya." Kata wanita muda itu dengan ramah.
"Iya makasih, mbak."
"Mau minum, neng? Yang biasa?
Sirup mangga, pake es?" Kata si mbak yang memang sudah hafal pesanan Mira
jika berkunjung.
"Hmm..nggak deh, mbak. Terima
kasih.”
“Oke deh. Kalau ingin sesuatu bilang
ya, neng. Oh iya, mbak khawatir si neng Debi kenapa-kenapa. Dari tadi malam dia
nggak keluar kamar, nggak mau makan juga. Besok kan sekolah, gimana kalau neng
Debi juga nggak mau masuk sekolah ya?” Kata si mbak yang wajahnya terlihat
cemas.
“Oh begitu, aku langsung ke atas aja
ya, mbak."
Mira menaiki tangga melingkar ke
lantai dua. Lantainya dingin, mungkin karena udara menjelang hujan. Setelah
melewati tangga, hanya jalan beberapa langkah ia pun bertemu pintu di sebelah
kanan yang bertuliskan "Debi's Castle”. Mira terdiam sebentar, tidak ada
suara dari dalam, atau dari manapun. Rumah ini hening. Baru sekitar 10 menit
yang lalu ia mendapat pesan singkat untuk segera datang dan ia sekarang sudah
berada di sini, bingung harus melakukan apa.
"Deb.." Panggil Mira
sambil mengetuk pintu.
"Iya, masuk aja, Ra." Sahut
seorang perempuan dari dalam kamar.
Pintu kamar berderit seraya Mira
masuk ke kamar bercat putih itu. Sebenarnya jika keadaannya sedang tidak
seperti ini, biasanya Mira bahkan tak perlu mengetuk terlebih dahulu. Mereka
sudah berteman sejak kecil, dan satu sekolah pula sampai SMA saat ini.
Kamar itu berukuran sedang, tak ada
yang terlalu mencolok kecuali seprai kasur single
yang bergambar Angry Birds dan juga rak buku yang berisi deretan novel fiksi
terkenal. Mira melihat sahabatnya sedang duduk di atas kasurnya sambil
memandangi Hp di tangannya. Matanya sembab, ia masih menangis.
"Hai. Masih sedih?" Mira
hanya bercanda.
"Menurut lo?" jawab Debi
dengan kesal.
"Ya.. kan gue nggak mau lo
sedih. Jelek mukanya tuh, lihat." Ledek Mira.
"Tapi kan memang sedih, nggak
bisa di tahan."
"Emang gimana sih, kok
bisa?" Sebenarnya Mira sudah tahu kejadiannya. Mira kira dengan bertanya,
Debi akan merasa lebih diperhatikan.
"Ya..gitu. Dia pergi begitu aja,
ninggalin gue. Udah ah, nggak mau cerita lagi." Debi mulai terisak.
"Dia merasa kalo lo udah nggak
sayang sama dia, mungkin?"
"Kalau gue nggak sayang, gue nggak
akan nangis begini, Ra!" Debi makin tersedu, kesal dengan sahabatnya yang
malah meledeknya.
"Eits, iya, iya, jangan ngamuk.
Kan kadang, orang baru tahu kalo dia sayang sama sesuatu ketika sudah
kehilangan. Mungkin aja waktu itu lo nggak terlalu menunjukkan rasa sayang dan
perhatian lo ke dia, jadi dia pergi. Terus lo baru sadar deh ketika dia udah pergi."
"Ah, apaan sih, Ra. Jadi ini salah
gue?" Debi agak kesal dengan temannya yang kadang sok bijak.
"Enggak juga sih, mungkin juga
memang udah saatnya..."
Debi terdiam. Ia masih melihat-lihat
foto-foto kenangannya di Hpnya. Foto Debi dengan kesayangannya. Mira sebenarnya
turut sedih tapi ia tidak ingin memperburuk keadaan, ia hanya mengamati Debi.
"Susah move on,
ya?" ledek Mira untuk memecah keheningan.
"Apaan sih, wajar dong! Kan
udah 3 tahun gw sama dia. Huhuhu."
"Nanti pasti ada penggantinya
kok." kata Mira meyakinkan.
"Tapi gue gak mau. Maunya cuma dia!"
"Kan dia udah pergi. Yakin nggak
mau penggantinya? Mana tahu, dapat yang lebih baik. Lagi pula, dia kan udah tua.
Hehe." Mira meledek lagi.
"Tapi nggak ada yang lebih baik
selain dia." Kata Debi, masih menyangkal.
"Deb, lo kira di dunia ini
isinya ada berapa makhluk hidup? Banyak Deb! Santai aja, lo mungkin belum jodoh
aja sama yang satu ini." Kata Mira, sok bijak.
"Terus gimana gue bisa
ngelupain Diko?"
"Gak harus dilupain sih, tapi
direlakan. Kalau memang takdirnya pergi, ya lepaskan untuk pergi.“ Mira mulai sok
bijak lagi untuk menghibur Debi yang sebenarnya menyadari hal itu.
Kemudian, suasana berduka dan agak
canggung itu pecah begitu saja. Mereka terkejut mendengar sebuah suara dari
luar jendela kamar Debi. Suara mengeong dari seekor anak kucing di luar. Mereka
segera melihat keluar jendela, dan melihat kucing itu tepat di bawah jendela
kamar Debi
"Ra, kucing, Ra!" seru
Debi.
Mereka berdua segera keluar rumah,
melihat anak kucing berwarna coklat sedang kebingungan dan mengeong-ngeong di
tengah semak berbunga di bawah jendela kamar Debi. Debi dan Mira perlahan mendekati
anak kucing itu. Anak kucing itu terlihat takut dan tetap berdiri diam.
"Hai kecil, mamamu mana?” Debi seakan
bisa berbahasa kucing. “Sini, sama aku aja." Saat berbicara dengan kucing
kecil itu, raut wajah Debi menjadi lebih ceria. Dengan lembut ia menggendong
anak kucing itu. Langsung saja Mira menyahut.
"Tuh kan benar, pasti dapat
penggantinya kan?" Mira menunjukkan cengirannya, membuat Debi hampir ikut tersenyum
lebar, tetapi tidak jadi karena gengsi.
"Ah diam lo. Kucing ini mau gue
rawat aja, kasian nggak ada mamanya." Kata Debi, galak. Seperti ibu-ibu
pemarah yang sedang menggendong anaknya.
"Disayang ya, Deb. Jangan
sampai pergi lagi."
"Ah tadi kata lo santai aja, kalau
pergi berarti belum jodoh.” Ujar Debi, menirukan gaya bicara Mira dengan
berlebihan. “Terus nanti akan datang lagi penggantinya. Jodoh kan gak
kemana." Lanjut Debi.
"Tapi kan lo juga harus
berusaha untuk menjaganya. Kalo nggak berusaha, lo nggak jadi jodoh
siapa-siapa, single melulu hidup
lo."
"Ih, malah topiknya jadi
galau-galau cinta begini. Males ah. Gue single
gini masih happy aja tuh." Sekarang Debi yang meledek Mira.
Kehilangan Diko, si kucing
kesayangannya, memang berat bagi Debi. Tapi, tak ada yang bisa disalahkan. Kalau
memang sudah takdir, apa yang bisa diperbuat?
Kedua remaja itu kemudian masuk ke dalam rumah dan larut dalam
kegembiraan baru dari si kecil pendatang baru. Kucing kecil itu akhirnya diberi
nama “Dira”, ia seekor betina. Sampai sekarang, Dira selalu membawa kebahagiaan
yang sama seperti dulu bersama Diko. Bahkan lebih besar, setelah Debi telah
rela melepas Diko pergi.
***
Yang telah pergi, pasti akan kembali, walaupun tidak selalu akan sama. Misalnya seperti ketika kita bersedekah. Rezeki yang kita biarkan pergi, pasti akan kembali, bisa dalam bentuk pahala, atau rezeki lainnya, atau bahkan dua-duanya. Jika kita merelakan, bahkan yang kembali itu bisa jadi lebih baik karena sebenaranya hal yang terjadi, yang baik ataupun tidak baik itu tergantung bagaimana kita memandangnya, dan sejauh mana kita merelakannya. Jadi, relakanlah :)
* Terinspirasi tweets para jejaka Psilabus (@PsikoUI2011) edisi #merelakan
* Mohon maklum kalau versinya agak sinetron/teenlit gini, hehe
// Mengenang Chiko
No comments:
Post a Comment