Monday, March 18, 2013

Jiwana

Harmoni. Hal itulah yang bisa ditemukan jika kamu hidup di dalam sebuah danau yang berada di sebuah desa kecil bernama Brosa. Danau tersebut sangat mencolok karena bentuknya yang luas dan airnya yang berwarna hijau toska. Desa Brosa terletak di kaki gunung Adler, dan jika kamu mendaki ke atas gunung tersebut dan menengok ke bawah, kamu bisa melihat danau itu seperti sebuah mata di tengah-tengah desa yang rakyatnya rata-rata memiliki rumah bergenting coklat. Air di pinggiran danau itu berwarana hijau terang dan semakin ke tengah, airnya berwarna semakin gelap, menandakan kedalaman danau tersebut. Danau itu bernama Jiwana. Menurut kepercayaan rakyat Brosa, danau itu suci. Mereka menganggap ketenangan danau Jiwana adalah ketenangan desa Brosa.

Di dalam danau itu, kehidupan berjalan normal seperti biasanya. Ada beberapa jenis kehidupan di sana. Mulai dari makhluk-makhluk yang lebih senang berenang di dekat permukaan, begitu dekat dengan cahaya matahari dan dengan Dunia Luar. Ada yang lebih suka di lapisan tengah, terlalu takut untuk ke bagian atas, tapi juga tidak mau dekat dengan kedalaman. Hingga ada juga mereka yang senang berdiam diri di bagian dasar danau itu yang cukup dalam, tidak peduli akan gelap dan sunyi. Walaupun berbeda-beda seperti itu, namun dari situlah keteraturan tercipta. Tidak ada yang saling memperebutkan tempat, tidak ada yang saling bertabrakan, semua berjalan di tempatnya masing-masing. Itulah harmoni.

Ikan Kora merupakan salah satu penghuni lapisan tengah danau. Ikan Kora tergolong kecil, namun mereka memiliki kemampuan berenang yang sangat cepat. Bahkan mereka dapat mengalahkan ikan besar di lomba berenang tahunan danau Jiwana. Ikan Kora senang berada di bagian selatan danau Jiwana karena airnya lebih hangat dan mereka tidak perlu harus berada dekat dengan permukaan untuk mencari kehangatan. Di bagian selatan danau tersebut terdapat bukit yang menonjol cukup tinggi dari dasarnya namun tidak mencapai ke permukaan. Letaknya pas, tidak terlalu dekat permukaan dan tidak juga dalam. Sepertinya di sanalah tempat cahaya matahari paling bersinar dan paling menghangati air Jiwana. Karena demikian, di puncak bukit yang landai itu tumbuh berbagai macam tumbuhan laut yang berwarna warni. Jika di lihat dari jauh, mungkin bukit itu terlihat seperti kota Las Vegas di malam hari yang penuh lampu neon menyala warna-warni. Penghuni danau Jiwana menamakannya Bukit Istimewa. 

Seekor ikan Kora kecil berenang menuju tempat favoritnya, karang berwarna oranye besar yang paling menjulang di tengah puncak Bukit Istimewa. Dari puncak karang tersebut, ia bisa melihat seluruh Bukit Istimewa, dan juga melihat seluas mungkin danau Jiwana. Yang ia suka, ia bisa melihat lebih banyak cahaya matahari dari pada di bagian bukit lainnya. Terlebih lagi, ia bisa melihat sedikit bagian dari Dunia Luar. Ia pun melakukan hobinya lagi, menghabiskan waktu di atas karang oranye sambil menatap ke permukaan. Apa yang ada di luar mangkok air ini?

"Meli!" sahut temannya dari bawah karang oranye itu.
"Ah, Stu, kau merusak momenku," ujar ikan Kora kecil itu yang baru saja terbuyar lamunannya.
"Maaf, Mel. Tapi bukankah kau akhir-akhir ini terlalu sering melamun di sana?"
"Kau khawatir padaku, Stu?"
"Yah, kau kan temanku, aneh rasanya melihat kau bertatap kosong di sana. Mengerikan."
"Haha, tak usah mengkhawatirkanku seperti itu," sahut Meli seraya turun dari karang dan menghampiri Stu.
"Memang apa sih yang kau pikirkan?"
"Stu, apakah pernah terpikir olehmu, dunia di luar sana?"
"Ah topik itu lagi," nada Stu kesal. "Sudah kubilang, bukannya tak pernah terpikir olehku, tapi aku tidak mau memikirkannya. Kenapa? Karena bagaimanapun pula kita tidak akan pernah bisa ke sana, jadi mengapa repot-repot memikirkannya?"
"Nah itu dia, apakah terpikirkan olehmu bagaimana agar kita bisa ke sana? Pasti ada cara!" Nada Meli sangat bersemangat.
"Kenapa kau begitu terobsesi?"
"Matahari. Aku menyukai matahari. Ketika matahari menembus ke sini, tidakkah kau merasakan kehangatan? Kehangatan itu, Stu. Tidakkah membuatmu senang? Bahkan sepertinya Bukit Istimewa juga merasakannya, lihat semua tempat penuh warna-warni ini. Ajaib!"
"Kalau begitu, kenapa kau tidak menjadi makhluk permukaan saja? Kau bisa lebih dekat dengan matahari kalau kau mau," Stu menyindir.
Suasana hening sejenak, senyum bergairah Meli tiba-tiba hilang. "A...Aku.....takut," Meli sangat ragu mengucapkannya.
"Nah! Jadi tidak usahlah memikirkan hal itu lagi, itu tidak menyehatkanmu," kata Stu. "Aku pulang dulu. Kau harus segera pulang, Mel."
"Oh baiklah...," Meli menghela nafas.

Ia tidak bisa tidur di malam itu. Entah kenapa perasaannya terhadap matahari ini menjadi semakin kuat akhir-akhir ini. Ia membayangkan, kenapa ia diciptakan di kolam besar ini, bukan di luar? Apa yang salah dengan makhluk-makhluk di magkok air ini, mengapa mereka dikurung di sini? Keesokan harinya, Meli melakukan hal yang sama. Kali ini ia benar-benar tidak bisa menahan untuk tidak ke karang oranye lagi. 

Kalau begitu, kenapa kau tidak menjadi makhluk permukaan saja?
Meli tenggelam dalam lamunannya. Sebenarnya tidak ada hambatan untuknya berenang ke dekat permukaan. Alasan mengapa ikan-ikan Kora dan ikan bagian lainnya tidak mau ke bagian lain, itu hanya karena cerita turun temurun keluarga. Bagi siapa yang melanggarnya, katanya akan mendapatkan sanksi, karena telah merusak harmoni.

Kau bisa lebih dekat dengan matahari kalau kau mau.
Jantung Meli berdebar ketika teringat kata-kata Stu. Nafasnya cepat. Aku mau! Meli tidak lagi berpikir panjang. Ia pun segera menggerakan ekor dan siripnya ke atas, ke dekat permukaan. Cahaya matahari semakin hangat dirasakannya. Ia berhenti tepat dibawah permukaan.  Semudah itu, kenapa tidak dari dulu. Meli tersenyum puas.

Tiba-tiba, ada bayangan yang menutupi sinar matahari diatasnya. Bayangan manusia. Meli sudah pernah mendengar tentang manusia. Ada cerita yang baik maupun buruk. Ia tak tahu cerita yang mana yang benar, tapi ia merasa sedang berada dalam cerita yang buruk. Bayangan itu semakin besar, lalu air pun berguncang. Meli terpaku melihatnya, seolah tidak bisa bergerak. Namun kesempatannya untuk menjauh telah hilang. Sebuah benda berwarna hitam menyelimuti dirinya. Ia terjerat dalam sebuah jaring. Kejadiannya begitu cepat. Dunia Meli serasa berguncang dan berputar. Tiba-tiba ia mereasa tercekik, ia tidak bisa bernafas. Seluruh tubuhnya terasa seperti dikuliti, karena tidak lagi diselimuti oleh air.

Bayangan manusia itu, kini manusia sesungguhnya di hadapannya. Manusia itu menatapnya melalui celah-celah jaring hitam tajam yang menggores-gores sisiknya ketika ia semakin mengelak untuk lepas. Terlihat kecewa, manusia itu melempar Meli keluar dari jaring, lemparannya ke arah danau, namun malah membuat Meli menghantam tanah, dengan luka di sisiknya karena tergores jaring-jaring tipis yang tajam. Manusia itu membiarkannya tergeletak di tanah kering, ia menjauh dan melangkah meninggalkannya. Meli panik, tidak bisa bergerak, nafasnya habis. Matahari yang menjadi dambaannya itu kini menyiksa dirinya dengan panas terik, membakar lukanya. Ia menangis, sebelum ia pun mati, dan membusuk.

No comments:

Post a Comment

Popular Posts