Di
suatu hutan di Sumatera, hidup makhluk-makhluk di dalam hutan yang keberadaannya
membuat orang-orang bertanya-tanya. Orang-orang di sana bilang mereka adalah makhluk
halus, iblis, monster, dan hal-hal mistis lainnya. Tak sedikit yang enggan
masuk ke hutan karena takut hal-hal buruk menimpanya akibat makhluk-makhluk
tersebut. Sesungguhnya mereka itu peri. Peri-peri wanita dan pria yang hidup
saling melindungi hutan. Mereka dipimpin oleh seorang ratu yang menciptakan
mereka, dan menguasai seluruh bagian hutan.
Pada
suatu musim kemarau, ratu hutan memanggil salah satu peri wanitanya. Kulit peri itu
halus mengkilap, bajunya hijau seperti warna daun segar yang hampir transparan
ditubuhnya, menutupi hingga setengah pahanya. Rambutnya putih perak dihiasi
dengan bunga kuning yang dijepitkan pada salah satu sisi kepalanya. Ratu hutan
berkata pada peri tersebut, “Bahaya datang, Utari. Jagalah hutan ini. ”Instruksi itu
dipahami oleh Utari. Ia tahu, ialah yang dipercaya oleh sang ratu. Utari kembali
pada rumahnya, tubuhnya menembus salah satu pohon di hutan itu. ***
Keheningan
hutan begitu kontras dengan keramaian di tengah kota 30 kilometer jauhnya. Di
sebuah gedung kantor pencakar langit, Malik sedang duduk dalam ruang rapat. Bos,
pria tua berperawakan gemuk dan berpakaian kantor yang rapi dan mahal itu
memimpin kumpulan orang dewasa yang berkeliling pada sebuah meja bundar. Malik, pegawai teladan, matanya tak
bergerak pada sang pemimpin, hingga di akhir rapat sang pemimpin rapat menatap
balik Malik.
“Kau
bersedia menjadi kepala proyek ini, Malik?” Tanya Bos.
“Eh?
Ehm..benarkah? Maksud saya, saya? Bagaimana dengan Arif di sana, dia lebih
berpengalaman.” Ujar Malik kebingungan. Yang bernama Arifmenarik garis bibirnya
ke atas.
Bos
tertawa, “Wah, mungkin sekarang giliranmu. Aku sudah melihat catatanmu, Malik.
Kau teladan, sudah sepantasnya sekarang kau yang menjadi pemimpin. Proyek ini
akan meraup keuntungan 10 triliyun, dan itu akan jadi milikmu, Malik. Bagaimana?”
Ruangan
hening. Malik yang gelisah karena dipandang oleh seluruh orang dalam ruang bulat
itu, akhirnya menyetujui tawaran tersebut. Ruangan itu sekarang bergemuruh
tepukan tangan.***
Ratu
hutan, sosok wanita yang memakai jubah berupa susunan daun menutupi memiliki
kulit yang juga terlihat bersisik seperti deretan daun, menunggu kedatangan
makhluk yang ia panggil. Rambutnya cokelat panjang dan di puncak kepalanya terdapat mahkota
terbuat dari daun-daun emas yang berjejer. Utari muncul dari pepohonan, lalu
berlutut dihadapan sang Ratu sambil tertunduk. “Gagalkan rencana mereka, Utari. Lindungi hutan ini.” ***
Segerombolan
buldozer dan orang-orang bertopi kuning
yang membawa gergaji mesin berdatangan ke tepi hutan.
“Kita
mulai dari sini.” Suara Malik memerintahkan semua anggotanya teredam lebatnya
hutan. Seorang pegawai terlihat lesu karena hutannya begitu lebat.
“Pak,
apakah tidak lebih cepat jika kita membakar saja hutannya?”
Mendengar
itu, Malik tertawa. “Wah, saya tak ingin mencoba bermain api. Lagipula, kalian
akan di bayar untuk ini. Segera kerjakan tugasmu.”
“Baik
pak.” Pegawai itu pergi bersama gergaji mesinnya.Malik buru-buru berseru pada
pegawai itu.
“Hei,
tenang saja. Kurasa dengan semua alat dan orang yang kita punya. Penebangan ini
akan selesai cepat. Target kitasepuluh hari.”
Malik
yang memantau pengerjaan itu terlihat puas. Ia tidak tahu dibelakangnya ada mata
cokelatyang juga sedang memantau. ***
“Mereka
akan selesai dalam sepuluh hari, ratu.” Suara Utari lembut hampir tidak
terdengar. Sang ratu gusar, matanya yang melotot membuat siapapun di hutan tak
berani menatapnya. Sang ratu berdeham.
“Hutan
ini sangat berarti bagiku, kau tahu itu, Utari?” Utari tidak menjawab. Tentu
itu bukan pertanyaan untuk dijawab. Ia menunggu sang ratu melanjutkan.
“Dulu
aku bertemu seorang lelaki. Ia sahabatku sejak kecil. Kami berasal dari desa
yang berseberangan. Sayangnya, desa kami saling bermusuhan. Orangtua kami tidak
setuju kami bersama. Kami pun menumbuhkan pohon-pohon ini, diantara dua desa itu,
memisahkannya, namun menyatukan kami. Pohon-pohon ini tumbuh bersama kami,
hingga ketika kami dewasa, kami bisa berdua bersama di dalam pepohonan ini
tanpa ada orang yang tahu. Aku jatuh cinta padanya, Utari. Aku tahu ia juga
mencintaiku. Di hutan, ia mengajakku menikah. Kami berencana hidup di pepohonan
ini berdua. Ya, hanya kami berdua.”Derik jangkrik begitu nyaring, menambah suasana sepi hutan itu.
“Suatu hari, saat aku akan bertemu dengannya di hutan,
ia tak kunjung datang. Aku menunggunya di hutan ini, hingga 7 hari ia tak
kunjung datang. Aku pun membubuhi tubuhku dengan daun-daun, lalu aku menyamar
masuk ke desa tempat cintaku tinggal.Aku berhenti di sebuah rumah kecil,
berdiam seperti semak-semak sungguhan, hingga aku mendengar percakapan seorang
pedagang roti dan pelanggannya.” Suara sang ratu sedikit bergetar.
“Pedagang roti itu berkata bahwa ia kehilangan
pelanggannya. Cintaku. Tukang roti itu menyebut nama cintaku. Katanya ia mati
karena berandal kejam merampoknya ketika ia mau mengunjungi hutan. Oh. Aku
bahkan lupa nama cintaku, namun aku akan selalu ingat wajahnya, tubuh tegap,
dan senyumannya.“ Sang ratu berkata dengan nada yang tidak bisa dimengerti.
Sebuah nada sedih dan kemarahan menjadi satu.
“Oh Utari, hatiku sekelam kabut sejak aku kehilangannya.
Hingga aku tidak enggan membunuh berandalan itu ketika mereka mendekat ke
hutan. Saat itu aku bersumpah, akan menjaga hutan ini selamanya.”Suara ratu
menjadi lebih nyaring. “Suatu hari, sang matahari dan bulan sepakat untuk
menjadikanku pelindung di hutan ini.”
“Tolonglah Utari, kau tahu apa yang harus kau lakukan
sekarang.” Suara sang ratu berubah menjadi lebih berat.
“Baik, baginda ratu.” Utari berbalik badan masih
menunduk. Satu kerlipan tetes air mata terlihat mengalir di pipinya. ***
Di malam kemarau yang panas itu, Malik bermimpi dalam
tidurnya. Ia mendengar suara lembut seorang wanita. Hentikanlah. Begitu kata suaranya. Ia memimpikan kaki berkulit
putih yang berlari di balik batang-batang gelap pohon di hutan. Hentikanlah. Malik bergumam dalam banjir keringat di
tubuhnya yang terlelap. Dering alarm kemudian membangunkannya. Satu jam
kemudian, ia sudah berada di tempat kerjanya.
Di lokasi penebangan, Malik sulit berkonsentrasi.
Rasanya ia mengenal hutan itu, suara itu, dan.. siapa yang dimimpi itu? Batinnya gusar.
“Pak, sudah waktu istirahat?” Malik tidak sadar sudah
hampir tengah hari dan belum memberhentikan pekerjanya untuk beristirahat. Ia
pun menginstruksikan pekerjanya untuk makan siang dan beristirahat. Ia duduk
pada kursi di bawah tenda terbuka sambil menikmati kopinya. Tiba-tiba ia
mendengar bisikan dari pohon-pohon yang berada di belakang tempat duduknya. Hentikanlah. Malik hampir tersedak mendengarnya. Itu suara
yang sama dalam mimpinya. Malik menaruh cangkir kopinya. Perlahan ia menuju
pepohonan
di belakangnya.
“Halo? Ada orang?” Malikmemanggil tidak terlalu keras
agar tidak ada pegawai yang mendengarnya. Malik masuk semakin dalam ke hutan, mencari
sumber suara. “Halo?” Tiba-tiba ia melihat sesosok wanita cantik mengintip dibalik
pohon. Kulit putihnya begitu mencolok di tengah batang-batang pohon yang gelap.
“Hei, apa kau tadi yang berbicara?” Malik bertanya,
tapi wanita itu langsung lari secepat angin. Kakinya yang putih dan lincah
berbalapan dengan batang-batang pohon yang coklat. Malik mengejarnya, ia
berhenti ketika melihat wanita itu berdiri di depan dua batang pohon bersisian
yang batangnya saling melengkung menyatu. Hati Malik tiba-tiba berdegup. Ia
mulai mengingat sesuatu. Sesuatu yang telah lama ia lupakan.
“Ta..Tari,
apa itu kau?” Malik mengernyitkan matanya, berusaha mengingat.
“Malik, hentikanlah.”
“Hentik...tunggu,apa itu benar-benar
kau, Tari?” Malik mendekat, ia tidak mengerti apa yang terjadi.
“Tolong jangan mendekat. Aku bukan
orang yang kau kenal lagi Malik.”
“Tapi aku kira kau sudah..”
“Mati. Ya. Ratu hutan menemukanku,
dan sekarang tolong segera pergi dari hutan ini dan jangan pernah kembali. Kau
dan semua orang dalam bahaya.”
Terkejut dengan siapa yang berbicara
dengannya, Malik seakan tidak menghiraukan peringatan peri itu. “Oh,Utari.
Aku..aku ingat. Aku belum melupakanmu. Waktu itu..aku sangat, oh aku masih
mencintaimu. Ngarai, bukan? Iya, di sini dulu ada ngarai.”
“Dibagian hutan lainnya. Dengarlah!
Kau harus berhenti. Kau tidak boleh menebang pohon lagi. Kau mengancam nyawa
kami.”
“Kami?”
“Kalian tidak tahu apa yang hidup di balik hutan. Jadi
hentikanlah.”
“Andai aku bisa, Utari. Bos...” Ucapan Malik
terpotong.
“Hentikanlah. Atau kami yang akan menghentikanmu.”Utari
memelototinya.
“Baiklah.” Malik tertegun, meskipun enggan, ia
perlahan membalikkan badannya. Ia melangkah sedikit, ketika ia menengok ke
belakang, Utari sudah menghilang. Kabut bermunculan di hadapannya. Malik
kembali ke lokasi kerjanya.
“Pak, kemana saja?” Tanya salah seorang pekerja.
“Mari kita berhenti untuk hari ini.” Kata Malik, alisnya mengerutkan
ragu dan juga bingung.
“Apa? Tapi pak, hari ini masih sedikit, masih jauh
dari target.”
“Berhenti saja. Ayo semua bubar!”
Raut wajah para pegawai yang keheranan tidak membuat Malik
berubah pikiran. Ia tahu apa yang dilakukannya. Ia berharap ia bisa kembali ke
hutan, bertemu dengannya lagi. Utari.
Malam itu Malik kembali bermimpi buruk. Ia berada di
atas ngarai besar di ujung hutan. Itu tempat favorit mereka, Malik dan Utari,
mereka saling jatuh cinta 10 tahun yang lalu. Suatu
saat ketika Malik berpaling untuk mengambil makan siang piknik mereka, Malik
mendengar teriakan Utaridari belakang. Terkejut karena sosok Utari menghilang,
ia menengok ke bawah ngarai. Tubuh Utari sedang bergelantungan dengan dua
tangan pada batu besar yang mencuat. Dengan jaketnya, ia mencoba mencapai
Utari, namun terlalu jauh. Malik membuka kemejanya dan memanjangkannya dengan
jaket. Namun pegangan batu itu terlalu licin karena saat itu musim hujan. Tangan
Utari terlepas, ia jatuh ke ngarai yang berkabut, tak tahu seberapa dalamnya. Malik! Itu teriakan terakhir yang
didengarnya. Malik terbangun dari mimpinya. Ia teringat tujuh puluh lima jam
konseling yang ia jalaninya untuk melupakan kejadian tersebut. ***
“Beraninya kau menghentikan proyek ini?” Bos marah
besar di ruangannya kepada Malikyang tetap diam di hadapannya. Malik tetap
memandangi lantai.“Kau tidak tahu kerugian yang kau sebabkan. Aku tidak mau
tahu. Besok, proyek ini kau teruskan.”
Malik tak bisa mengelak, jika ia menceritakan mengenai
peri Utari, pasti Bos menganggapnya gila. Besok ia harus bertemu dengan Utari.***
Hutan tidak sama seperti biasanya. Meski terik
matahari memancar, kabut menyelimuti hutan.
“Pak, banyak kabut hari ini, apa kita lanjutkan
proyek?” Tanya seorang pegawainya.
“Bos bilang kita harus lanjutkan.” Jawab Malik.
Melihat para pekerja mulai asyik menebang pohon, Malik
diam-diam menyelinap menuju hutan tempat ia bertemu Utari. Ia kesulitan
menemukan arah tepat menuju tempat ia bertemu Utari karena kabut ini. Malik
memanggil, “Utari! Utari keluarlah, ini aku, Malik.” Malik merasa dingin,
kemarin sinar matahari menembus dedaunan hutan ini. Sekarang begitu gelap dan
berkabut. Malik tidak punya senter karena ia bekerja di siang hari dan merasa
tidak membutuhkannya.
Tiba-tiba ia melihat sosok Utari mengintip di balik
pohon kecil. Utari berjalan keluar.Utari berseru, “Aku bilang hentikan.”
“Utari, aku tidak bisa. Bos telah marah besar jika
proyek dihentikan. Dengarlah, aku tahu solusinya. Kami bisa memindahkan kau
dan.. kalian yang ada di hutan ini ke hutan yang lain.”
“Tidak semudah itu,Malik. Di hutan ini jiwa sang ratu
telah hidup, di setiap bagiannya.”
“Kalau begitu bisakah aku bertemu dengan sang ratu?”
“Hentikanlah, kumohon. Kalian dalam bahaya, karena
kalian membahayakan kami.”
Malik mendesah, ia memutar otak, tapi tak tahu apa
yang bisa ia lakukan. “Akan kucoba berbicara lagi pada Bos.”
Utari terdiam menatap Malik. Malik lupa betapa
cantiknya Utari.. semasa itu. Kini ia masih sama cantiknya, dengan cara yang
berbeda.
“Utari, apa kau masih mencintaiku?’
Utari terdiam menatap Malik, dan tubuhnya tiba-tiba
hilang tertelan kabut. Malik menatap tarian kabut itu dengan lesu.***
“Proyek itu harus tetap berjalan!” Kali ini Bos
benar-benar murka. “Malik, aku mempercayakan proyek ini kepadamu, dan kau
mengecewakanku. Baiklah, jika kau ingin berhenti. Aku sendiri yang besok akan
melanjutkan proyek itu. Kau tidak bisa menghentikanku.”***
Di tengah hutan, sang ratu semakin gusar.“Lakukanlah
sekuatmu Utari.” Ia menyuruh Utari melakukan tugasnya.Utari berjalan lesu,
menitikkan kerlipan air mata lagi di pipi mulusnya.***
Hutan hari ini lebih kelam dari kemarin. Bukan lagi
tertutup oleh kabut, tapi ini.. asap! Pegawai proyek terbatuk-batuk memasuki
kawasan tempat mereka bekerja. Bos berdiri dengan tegak menatap hutan, meskipun
para pekerjanya mengeluh padanya.
“Pakai masker kalian. Proyek ini harus selesai.” Suara
Bos tetap lantang dibalik maskernya. Malik datang mengampiri Bos.
“Bos, tolong hentikan ini, hutan ini berbahaya. Kabut
kemarin adalah peringatan untuk kita. Sekarang mereka mengeluarkan asap, untuk
mencegah kita.”
“Hah! Kau ini sudah gila? Mereka itu siapa? Kau bicara
dengan pohon?”
“Berhentilah, Bos. Sebelum mereka membuat yang lebih
parah daripada ini.”
“Omong kosong kamu! Aku akan buktikan sendiri. Aku
akan menebang pohon-pohon ini sendiri. Minggir!” Bos langsung menaiki salah
satu buldozer, mengendarainya menuju ke dalam hutan, ia menghantam pohon pohon
kecil yang berada di depannya. Sosok Bos dan buldozernya semakin jauh dan
tertutup oleh asap. Malik segera mengejar sosok itu. Ia harus menemui Utari,
atau mungkin sang ratu.
Bos menabrak satu pohon besar. Dengan mengeluh, ia
turun sambil membawa gergaji mesinnya. Ia mulai menyalakan mesin itu dan
memotong kayu pohon di depannya. Ia tidak menyadari ada sulur akar yang mulai
meliliti kakinya, dan naik hingga tubuhnya dengan erat. Bos berteriak meminta
tolong, namun sulur-sulur itu telah menutupi kepalanya. Sekarang yang ada hanya
suara gergaji mesin yang tergeletak di tanah.***
Di lokasi proyek penebangan, dua orang pekerja
terbatuk-batuk dan pingsan. Salah satu pegawai lain panik dan mencari-cari
atasannya. “Bos! Dua orang jatuh.” Pegawai itu celingukan tidak menemukan orang
yang dicarinya.“Hei. Di mana Bos? Di mana Pak Malik?”***
“Bos! Bos! Di mana kau?” Malik berlari mencari bosnya,
namun ia juga harus mencari seseorang. “Utari, aku kau di mana?” Malikmelihat
warna kuning bulldozer di tengah adatnya kabut dan mendengar deruan mesin
penggergaji kayu. Malik mendekat, ia tidak melihat Bos, dimatikanya mesin gergaji
itu. Dari belakang, Utari menghampirinya.
“Pergi dari sini Malik. Cepatlah.” Wajahnya sedih dan
panik.Malik berbalik badan.
“Utari, aku harus mencari Bos. Aku harus bertemu ratu.
Aku harus menyelesaikan semuanya.”
“Kau tidak bisa. Oh cepatlah pergi dari sini, asap ini
beracun.” Peringatan dari Utari. Tiba-tiba Malik merasa pusing.“Sebentar lagi
kau dan orang-orangmuakan tidak sadarkan diri. Kau bisa mati!”
“Utari, aku akan pergi, tapi aku harus mencari Bos.
Bantulah aku.” Seraya berbicara, Malik merasa badannya sedikit melayang.
“Ratu menangkapnya. Kau tidak bisa menolongnya.”
“Utari, aku harus!” Utari tetap terdiam. Malik memperhatikan
sekitar, otaknya mulai berputar. “Jika kau tidak mau membantu, aku bisa
melakukannya sendiri. Aku tahu caranya.” Malik langsung berlari ke antara dua
pohon yang saling melekuk. yang berjarak lima kaki dari dirinya. Itu tempat ia
pertama bertemu dengan Utari. Ia tahu itu gerbang menuju sesuatu yang lain.
Menembus di antara dua batang pohon itu, sepersekian
detik tubuhnya serasa melayang. Ia telah berpijak pada dunia yang berbeda. Di
hadapannya, ia disambut oleh ratu yang sedang mengamati tubuh Bos yang terlilit
di sebuah pohon. Bos terbelalak melihat Malik, tapi ia tetap tidak bisa
berbicara karena mulutnya tertutup sulur akar.
“Wahai baginda ratu, hentikan semua ini. Kita bisa
mendiskusikan jalan keluarnya.”Malik langsung tahu bahwa yang ditatapnya adalah
sang ratu.
“Jalan keluar? Tak ada lagi yang bisa kau lakukan.
Minggir saja jika tidak ingin mati bersama si gendut ini.” Mendengar itu,
geraman Bos terdengar samar dibalik sulur. “Si gendut ini akan membayar apa
yang telah ia lakukan. Tubuhnya akan diserap oleh akar-akarku, dan membiarkan
darahnya menumbuhkan pohon-pohon baru, sebagai ganti atas pohon-pohon yang mati
karena ulahnya.”
“Tolong hentikan. Jangan bunuh dia.” Malik makin
merasa pusing, nafasnya. Utari muncul dari gerbang ajaib, ia menatap Malik.Malik
saling bertatap dengan Utari. “Jadikan aku sebagai gantinya.”
Utari berteriak, “Jangan Malik. Jangan!“
“Aku sudah gila melihatmu mati saat itu, Utari.
Sekarang aku ingin bersamamu.”
“Tidak Malik, kau tidak bisa. Pergi saja dari hutan
ini. Aku telah membuat kabut dan asap ini, agar kau pergi. Maafkan aku.”Utari
mulai menangis.
“Ambil saja tubuhku, wahai Ratu. Lepaskan pria itu.” Malik
menyerahkan dirinya.
Sang ratu tersenyum, “Baiklah, jika itu maumu.” Sulur yang
meliliti Bos pun berpindah pada tubuh Malik, menjeratnya.Utari berteriak.
“Tidak! Wahai Ratu, jangan bunuh Malik.”
“Diam, Utari. Mereka manusia sama saja.”
“Ingatlah, dulu kau juga manusia. Apakah kau akan
sekejam ini?”
“Diamlah kau. Kuhancurkan ia saat ini juga.” Sulur
pohon semakin erat, Malik meringkih kesakitan. Ujung sulur mulai menancap ke
kulitnya.
Utari menangis. Ia pun mendekat dan berbisik di
telinga Malik sambil menangis.
“Ya, aku masih mencintaimu, Malik.” Utari memeluk Malik
yang terlilit oleh sulur. Sulur-sulur itu menyala. Sesaat tubuh Malik berkedip
bersamaan dengan tubuh Utari. Kini, di dalam sulur adalah tubuh Utari dan sulur
itu memakan tubuh mengkilapnya. Sang ratu terperangah, ia terhempas karena
kilauan cahaya yang sangat terang, lalu ia menghilang.
Malik berbaring di tanah di sebelahnya, melihat cahaya
berkelap-kelip, dadanya sesak. Malik!
Suara bergema di telinganya, namun ia telah tak sadarkan diri. Hujan turun
membasahi tubuhnya di tanah yang membecek. ***
Malik membaca koran pagi ini. Berita utama menyebutkan
bahwa ada kebakaran hutan yang menyebabkan asap membuat beberapa pegawai
pembangunan proyek tak sadarkan diri, namun seluruh pegawai berhasil
diselamatkan. Berita itu menyebutkan kebakaran padam karena turunnya hujan
pertama di awal musim hujan yang datang.
Malik menyeruput kopinya, ia bersyukur dirinya tidak
gila. Wanita tercintanya yang telah lama mati, menjadi peri yang telah menyelamatkan
dirinya. Hutan itu hingga saat iniselalu berselimut kabut. Para peneliti bilang,munculnya
kabut itu disebabkan tanah bekas terbakaryangterkena hujan. Namun Malik tahu,
hutan itu berkabut jika ada niat jahat yang mengancam bahaya makhluk di hutan
itu. Arwah Utari akan selalu melindungi hutan itu dengan kabutnya. Sampai
sekarang, hutan itu tetap berkabut, karena memang masih banyak pikiran-pikiran
jahat orang serakah yang ingin melahap hutan itu.
***