Thursday, April 9, 2015

Di Balik Hutan Kabut

Di suatu hutan di Sumatera, hidup makhluk-makhluk di dalam hutan yang keberadaannya membuat orang-orang bertanya-tanya. Orang-orang di sana bilang mereka adalah makhluk halus, iblis, monster, dan hal-hal mistis lainnya. Tak sedikit yang enggan masuk ke hutan karena takut hal-hal buruk menimpanya akibat makhluk-makhluk tersebut. Sesungguhnya mereka itu peri. Peri-peri wanita dan pria yang hidup saling melindungi hutan. Mereka dipimpin oleh seorang ratu yang menciptakan mereka, dan menguasai seluruh bagian hutan.
Pada suatu musim kemarau, ratu hutan memanggil salah satu peri wanitanya. Kulit peri itu halus mengkilap, bajunya hijau seperti warna daun segar yang hampir transparan ditubuhnya, menutupi hingga setengah pahanya. Rambutnya putih perak dihiasi dengan bunga kuning yang dijepitkan pada salah satu sisi kepalanya. Ratu hutan berkata pada peri tersebut, “Bahaya datang, Utari. Jagalah hutan ini. ”Instruksi itu dipahami oleh Utari. Ia tahu, ialah yang dipercaya oleh sang ratu. Utari kembali pada rumahnya, tubuhnya menembus salah satu pohon di hutan itu. ***

Keheningan hutan begitu kontras dengan keramaian di tengah kota 30 kilometer jauhnya. Di sebuah gedung kantor pencakar langit, Malik sedang duduk dalam ruang rapat. Bos, pria tua berperawakan gemuk dan berpakaian kantor yang rapi dan mahal itu memimpin kumpulan orang dewasa yang berkeliling pada sebuah meja bundar. Malik, pegawai teladan, matanya tak bergerak pada sang pemimpin, hingga di akhir rapat sang pemimpin rapat menatap balik Malik.
“Kau bersedia menjadi kepala proyek ini, Malik?” Tanya Bos.
“Eh? Ehm..benarkah? Maksud saya, saya? Bagaimana dengan Arif di sana, dia lebih berpengalaman.” Ujar Malik kebingungan. Yang bernama Arifmenarik garis bibirnya ke atas.
Bos tertawa, “Wah, mungkin sekarang giliranmu. Aku sudah melihat catatanmu, Malik. Kau teladan, sudah sepantasnya sekarang kau yang menjadi pemimpin. Proyek ini akan meraup keuntungan 10 triliyun, dan itu akan jadi milikmu, Malik.  Bagaimana?”
Ruangan hening. Malik yang gelisah karena dipandang oleh seluruh orang dalam ruang bulat itu, akhirnya menyetujui tawaran tersebut. Ruangan itu sekarang bergemuruh tepukan tangan.***

Ratu hutan, sosok wanita yang memakai jubah berupa susunan daun menutupi memiliki kulit yang juga terlihat bersisik seperti deretan daun, menunggu kedatangan makhluk yang ia panggil. Rambutnya cokelat panjang dan di puncak kepalanya terdapat mahkota terbuat dari daun-daun emas yang berjejer. Utari muncul dari pepohonan, lalu berlutut dihadapan sang Ratu sambil tertunduk. “Gagalkan rencana mereka, Utari. Lindungi hutan ini.” ***

Segerombolan buldozer dan orang-orang bertopi kuning yang membawa gergaji mesin berdatangan ke tepi hutan.
“Kita mulai dari sini.” Suara Malik memerintahkan semua anggotanya teredam lebatnya hutan. Seorang pegawai terlihat lesu karena hutannya begitu lebat.
“Pak, apakah tidak lebih cepat jika kita membakar saja hutannya?”
Mendengar itu, Malik tertawa. “Wah, saya tak ingin mencoba bermain api. Lagipula, kalian akan di bayar untuk ini. Segera kerjakan tugasmu.”
“Baik pak.” Pegawai itu pergi bersama gergaji mesinnya.Malik buru-buru berseru pada pegawai itu.
“Hei, tenang saja. Kurasa dengan semua alat dan orang yang kita punya. Penebangan ini akan selesai cepat. Target kitasepuluh hari.”
Malik yang memantau pengerjaan itu terlihat puas. Ia tidak tahu dibelakangnya ada mata cokelatyang juga sedang memantau. ***

“Mereka akan selesai dalam sepuluh hari, ratu.” Suara Utari lembut hampir tidak terdengar. Sang ratu gusar, matanya yang melotot membuat siapapun di hutan tak berani menatapnya. Sang ratu berdeham.
“Hutan ini sangat berarti bagiku, kau tahu itu, Utari?” Utari tidak menjawab. Tentu itu bukan pertanyaan untuk dijawab. Ia menunggu sang ratu melanjutkan.
“Dulu aku bertemu seorang lelaki. Ia sahabatku sejak kecil. Kami berasal dari desa yang berseberangan. Sayangnya, desa kami saling bermusuhan. Orangtua kami tidak setuju kami bersama. Kami pun menumbuhkan pohon-pohon ini, diantara dua desa itu, memisahkannya, namun menyatukan kami. Pohon-pohon ini tumbuh bersama kami, hingga ketika kami dewasa, kami bisa berdua bersama di dalam pepohonan ini tanpa ada orang yang tahu. Aku jatuh cinta padanya, Utari. Aku tahu ia juga mencintaiku. Di hutan, ia mengajakku menikah. Kami berencana hidup di pepohonan ini berdua. Ya, hanya kami berdua.”Derik jangkrik begitu nyaring, menambah suasana sepi hutan itu.
“Suatu hari, saat aku akan bertemu dengannya di hutan, ia tak kunjung datang. Aku menunggunya di hutan ini, hingga 7 hari ia tak kunjung datang. Aku pun membubuhi tubuhku dengan daun-daun, lalu aku menyamar masuk ke desa tempat cintaku tinggal.Aku berhenti di sebuah rumah kecil, berdiam seperti semak-semak sungguhan, hingga aku mendengar percakapan seorang pedagang roti dan pelanggannya.” Suara sang ratu sedikit bergetar.
“Pedagang roti itu berkata bahwa ia kehilangan pelanggannya. Cintaku. Tukang roti itu menyebut nama cintaku. Katanya ia mati karena berandal kejam merampoknya ketika ia mau mengunjungi hutan. Oh. Aku bahkan lupa nama cintaku, namun aku akan selalu ingat wajahnya, tubuh tegap, dan senyumannya.“ Sang ratu berkata dengan nada yang tidak bisa dimengerti. Sebuah nada sedih dan kemarahan menjadi satu.
“Oh Utari, hatiku sekelam kabut sejak aku kehilangannya. Hingga aku tidak enggan membunuh berandalan itu ketika mereka mendekat ke hutan. Saat itu aku bersumpah, akan menjaga hutan ini selamanya.”Suara ratu menjadi lebih nyaring. “Suatu hari, sang matahari dan bulan sepakat untuk menjadikanku pelindung di hutan ini.”
“Tolonglah Utari, kau tahu apa yang harus kau lakukan sekarang.” Suara sang ratu berubah menjadi lebih berat.
“Baik, baginda ratu.” Utari berbalik badan masih menunduk. Satu kerlipan tetes air mata terlihat mengalir di pipinya. ***

Di malam kemarau yang panas itu, Malik bermimpi dalam tidurnya. Ia mendengar suara lembut seorang wanita. Hentikanlah. Begitu kata suaranya. Ia memimpikan kaki berkulit putih yang berlari di balik batang-batang gelap pohon di hutan. Hentikanlah. Malik bergumam dalam banjir keringat di tubuhnya yang terlelap. Dering alarm kemudian membangunkannya. Satu jam kemudian, ia sudah berada di tempat kerjanya.
Di lokasi penebangan, Malik sulit berkonsentrasi. Rasanya ia mengenal hutan itu, suara itu, dan.. siapa yang dimimpi itu? Batinnya gusar.
“Pak, sudah waktu istirahat?” Malik tidak sadar sudah hampir tengah hari dan belum memberhentikan pekerjanya untuk beristirahat. Ia pun menginstruksikan pekerjanya untuk makan siang dan beristirahat. Ia duduk pada kursi di bawah tenda terbuka sambil menikmati kopinya. Tiba-tiba ia mendengar bisikan dari pohon-pohon yang berada di belakang tempat duduknya. Hentikanlah. Malik hampir tersedak mendengarnya. Itu suara yang sama dalam mimpinya. Malik menaruh cangkir kopinya. Perlahan ia menuju pepohonan di belakangnya.
“Halo? Ada orang?” Malikmemanggil tidak terlalu keras agar tidak ada pegawai yang mendengarnya. Malik masuk semakin dalam ke hutan, mencari sumber suara. “Halo?” Tiba-tiba ia melihat sesosok wanita cantik mengintip dibalik pohon. Kulit putihnya begitu mencolok di tengah batang-batang pohon yang gelap.
“Hei, apa kau tadi yang berbicara?” Malik bertanya, tapi wanita itu langsung lari secepat angin. Kakinya yang putih dan lincah berbalapan dengan batang-batang pohon yang coklat. Malik mengejarnya, ia berhenti ketika melihat wanita itu berdiri di depan dua batang pohon bersisian yang batangnya saling melengkung menyatu. Hati Malik tiba-tiba berdegup. Ia mulai mengingat sesuatu. Sesuatu yang telah lama ia lupakan.
            Ta..Tari, apa itu kau?” Malik mengernyitkan matanya, berusaha mengingat.
            “Malik, hentikanlah.”
            “Hentik...tunggu,apa itu benar-benar kau, Tari?” Malik mendekat, ia tidak mengerti apa yang terjadi.
            “Tolong jangan mendekat. Aku bukan orang yang kau kenal lagi Malik.”
            “Tapi aku kira kau sudah..”
            “Mati. Ya. Ratu hutan menemukanku, dan sekarang tolong segera pergi dari hutan ini dan jangan pernah kembali. Kau dan semua orang dalam bahaya.”
            Terkejut dengan siapa yang berbicara dengannya, Malik seakan tidak menghiraukan peringatan peri itu. “Oh,Utari. Aku..aku ingat. Aku belum melupakanmu. Waktu itu..aku sangat, oh aku masih mencintaimu. Ngarai, bukan? Iya, di sini dulu ada ngarai.”
            “Dibagian hutan lainnya. Dengarlah! Kau harus berhenti. Kau tidak boleh menebang pohon lagi. Kau mengancam nyawa kami.”
“Kami?”
“Kalian tidak tahu apa yang hidup di balik hutan. Jadi hentikanlah.”
“Andai aku bisa, Utari. Bos...” Ucapan Malik terpotong.
“Hentikanlah. Atau kami yang akan menghentikanmu.”Utari memelototinya.
“Baiklah.” Malik tertegun, meskipun enggan, ia perlahan membalikkan badannya. Ia melangkah sedikit, ketika ia menengok ke belakang, Utari sudah menghilang. Kabut bermunculan di hadapannya. Malik kembali ke lokasi kerjanya.
“Pak, kemana saja?” Tanya salah seorang pekerja.
“Mari kita berhenti untuk hari ini.” Kata Malik, alisnya mengerutkan ragu dan juga bingung.
“Apa? Tapi pak, hari ini masih sedikit, masih jauh dari target.”
“Berhenti saja. Ayo semua bubar!”
Raut wajah para pegawai yang keheranan tidak membuat Malik berubah pikiran. Ia tahu apa yang dilakukannya. Ia berharap ia bisa kembali ke hutan, bertemu dengannya lagi. Utari.
Malam itu Malik kembali bermimpi buruk. Ia berada di atas ngarai besar di ujung hutan. Itu tempat favorit mereka, Malik dan Utari, mereka saling jatuh cinta 10 tahun yang lalu. Suatu saat ketika Malik berpaling untuk mengambil makan siang piknik mereka, Malik mendengar teriakan Utaridari belakang. Terkejut karena sosok Utari menghilang, ia menengok ke bawah ngarai. Tubuh Utari sedang bergelantungan dengan dua tangan pada batu besar yang mencuat. Dengan jaketnya, ia mencoba mencapai Utari, namun terlalu jauh. Malik membuka kemejanya dan memanjangkannya dengan jaket. Namun pegangan batu itu terlalu licin karena saat itu musim hujan. Tangan Utari terlepas, ia jatuh ke ngarai yang berkabut, tak tahu seberapa dalamnya. Malik! Itu teriakan terakhir yang didengarnya. Malik terbangun dari mimpinya. Ia teringat tujuh puluh lima jam konseling yang ia jalaninya untuk melupakan kejadian tersebut. ***

“Beraninya kau menghentikan proyek ini?” Bos marah besar di ruangannya kepada Malikyang tetap diam di hadapannya. Malik tetap memandangi lantai.“Kau tidak tahu kerugian yang kau sebabkan. Aku tidak mau tahu. Besok, proyek ini kau teruskan.”
Malik tak bisa mengelak, jika ia menceritakan mengenai peri Utari, pasti Bos menganggapnya gila. Besok ia harus bertemu dengan Utari.***

Hutan tidak sama seperti biasanya. Meski terik matahari memancar, kabut menyelimuti hutan.
“Pak, banyak kabut hari ini, apa kita lanjutkan proyek?” Tanya seorang pegawainya.
“Bos bilang kita harus lanjutkan.” Jawab Malik.
Melihat para pekerja mulai asyik menebang pohon, Malik diam-diam menyelinap menuju hutan tempat ia bertemu Utari. Ia kesulitan menemukan arah tepat menuju tempat ia bertemu Utari karena kabut ini. Malik memanggil, “Utari! Utari keluarlah, ini aku, Malik.” Malik merasa dingin, kemarin sinar matahari menembus dedaunan hutan ini. Sekarang begitu gelap dan berkabut. Malik tidak punya senter karena ia bekerja di siang hari dan merasa tidak membutuhkannya.
Tiba-tiba ia melihat sosok Utari mengintip di balik pohon kecil. Utari berjalan keluar.Utari berseru, “Aku bilang hentikan.”
“Utari, aku tidak bisa. Bos telah marah besar jika proyek dihentikan. Dengarlah, aku tahu solusinya. Kami bisa memindahkan kau dan.. kalian yang ada di hutan ini ke hutan yang lain.”
“Tidak semudah itu,Malik. Di hutan ini jiwa sang ratu telah hidup, di setiap bagiannya.”
“Kalau begitu bisakah aku bertemu dengan sang ratu?”
“Hentikanlah, kumohon. Kalian dalam bahaya, karena kalian membahayakan kami.”
Malik mendesah, ia memutar otak, tapi tak tahu apa yang bisa ia lakukan. “Akan kucoba berbicara lagi pada Bos.”
Utari terdiam menatap Malik. Malik lupa betapa cantiknya Utari.. semasa itu. Kini ia masih sama cantiknya, dengan cara yang berbeda.
“Utari, apa kau masih mencintaiku?’
Utari terdiam menatap Malik, dan tubuhnya tiba-tiba hilang tertelan kabut. Malik menatap tarian kabut itu dengan lesu.***

“Proyek itu harus tetap berjalan!” Kali ini Bos benar-benar murka. “Malik, aku mempercayakan proyek ini kepadamu, dan kau mengecewakanku. Baiklah, jika kau ingin berhenti. Aku sendiri yang besok akan melanjutkan proyek itu. Kau tidak bisa menghentikanku.”***

Di tengah hutan, sang ratu semakin gusar.“Lakukanlah sekuatmu Utari.” Ia menyuruh Utari melakukan tugasnya.Utari berjalan lesu, menitikkan kerlipan air mata lagi di pipi mulusnya.***

Hutan hari ini lebih kelam dari kemarin. Bukan lagi tertutup oleh kabut, tapi ini.. asap! Pegawai proyek terbatuk-batuk memasuki kawasan tempat mereka bekerja. Bos berdiri dengan tegak menatap hutan, meskipun para pekerjanya mengeluh padanya.
“Pakai masker kalian. Proyek ini harus selesai.” Suara Bos tetap lantang dibalik maskernya. Malik datang mengampiri Bos.
“Bos, tolong hentikan ini, hutan ini berbahaya. Kabut kemarin adalah peringatan untuk kita. Sekarang mereka mengeluarkan asap, untuk mencegah kita.”
“Hah! Kau ini sudah gila? Mereka itu siapa? Kau bicara dengan pohon?”
“Berhentilah, Bos. Sebelum mereka membuat yang lebih parah daripada ini.”
“Omong kosong kamu! Aku akan buktikan sendiri. Aku akan menebang pohon-pohon ini sendiri. Minggir!” Bos langsung menaiki salah satu buldozer, mengendarainya menuju ke dalam hutan, ia menghantam pohon pohon kecil yang berada di depannya. Sosok Bos dan buldozernya semakin jauh dan tertutup oleh asap. Malik segera mengejar sosok itu. Ia harus menemui Utari, atau mungkin sang ratu.
Bos menabrak satu pohon besar. Dengan mengeluh, ia turun sambil membawa gergaji mesinnya. Ia mulai menyalakan mesin itu dan memotong kayu pohon di depannya. Ia tidak menyadari ada sulur akar yang mulai meliliti kakinya, dan naik hingga tubuhnya dengan erat. Bos berteriak meminta tolong, namun sulur-sulur itu telah menutupi kepalanya. Sekarang yang ada hanya suara gergaji mesin yang tergeletak di tanah.***

Di lokasi proyek penebangan, dua orang pekerja terbatuk-batuk dan pingsan. Salah satu pegawai lain panik dan mencari-cari atasannya. “Bos! Dua orang jatuh.” Pegawai itu celingukan tidak menemukan orang yang dicarinya.“Hei. Di mana Bos? Di mana Pak Malik?”***

“Bos! Bos! Di mana kau?” Malik berlari mencari bosnya, namun ia juga harus mencari seseorang. “Utari, aku kau di mana?” Malikmelihat warna kuning bulldozer di tengah adatnya kabut dan mendengar deruan mesin penggergaji kayu. Malik mendekat, ia tidak melihat Bos, dimatikanya mesin gergaji itu. Dari belakang, Utari menghampirinya.
“Pergi dari sini Malik. Cepatlah.” Wajahnya sedih dan panik.Malik berbalik badan.
“Utari, aku harus mencari Bos. Aku harus bertemu ratu. Aku harus menyelesaikan semuanya.”
“Kau tidak bisa. Oh cepatlah pergi dari sini, asap ini beracun.” Peringatan dari Utari. Tiba-tiba Malik merasa pusing.“Sebentar lagi kau dan orang-orangmuakan tidak sadarkan diri. Kau bisa mati!”
“Utari, aku akan pergi, tapi aku harus mencari Bos. Bantulah aku.” Seraya berbicara, Malik merasa badannya sedikit melayang.
“Ratu menangkapnya. Kau tidak bisa menolongnya.”
“Utari, aku harus!” Utari tetap terdiam. Malik memperhatikan sekitar, otaknya mulai berputar. “Jika kau tidak mau membantu, aku bisa melakukannya sendiri. Aku tahu caranya.” Malik langsung berlari ke antara dua pohon yang saling melekuk. yang berjarak lima kaki dari dirinya. Itu tempat ia pertama bertemu dengan Utari. Ia tahu itu gerbang menuju sesuatu yang lain.
Menembus di antara dua batang pohon itu, sepersekian detik tubuhnya serasa melayang. Ia telah berpijak pada dunia yang berbeda. Di hadapannya, ia disambut oleh ratu yang sedang mengamati tubuh Bos yang terlilit di sebuah pohon. Bos terbelalak melihat Malik, tapi ia tetap tidak bisa berbicara karena mulutnya tertutup sulur akar.
“Wahai baginda ratu, hentikan semua ini. Kita bisa mendiskusikan jalan keluarnya.”Malik langsung tahu bahwa yang ditatapnya adalah sang ratu.
“Jalan keluar? Tak ada lagi yang bisa kau lakukan. Minggir saja jika tidak ingin mati bersama si gendut ini.” Mendengar itu, geraman Bos terdengar samar dibalik sulur. “Si gendut ini akan membayar apa yang telah ia lakukan. Tubuhnya akan diserap oleh akar-akarku, dan membiarkan darahnya menumbuhkan pohon-pohon baru, sebagai ganti atas pohon-pohon yang mati karena ulahnya.”
“Tolong hentikan. Jangan bunuh dia.” Malik makin merasa pusing, nafasnya. Utari muncul dari gerbang ajaib, ia menatap Malik.Malik saling bertatap dengan Utari. “Jadikan aku sebagai gantinya.”
Utari berteriak, “Jangan Malik. Jangan!“
“Aku sudah gila melihatmu mati saat itu, Utari. Sekarang aku ingin bersamamu.”
“Tidak Malik, kau tidak bisa. Pergi saja dari hutan ini. Aku telah membuat kabut dan asap ini, agar kau pergi. Maafkan aku.”Utari mulai menangis.
“Ambil saja tubuhku, wahai Ratu. Lepaskan pria itu.” Malik menyerahkan dirinya.
Sang ratu tersenyum, “Baiklah, jika itu maumu.” Sulur yang meliliti Bos pun berpindah pada tubuh Malik, menjeratnya.Utari berteriak.
“Tidak! Wahai Ratu, jangan bunuh Malik.”
“Diam, Utari. Mereka manusia sama saja.”
“Ingatlah, dulu kau juga manusia. Apakah kau akan sekejam ini?”
“Diamlah kau. Kuhancurkan ia saat ini juga.” Sulur pohon semakin erat, Malik meringkih kesakitan. Ujung sulur mulai menancap ke kulitnya.
Utari menangis. Ia pun mendekat dan berbisik di telinga Malik sambil menangis.
“Ya, aku masih mencintaimu, Malik.” Utari memeluk Malik yang terlilit oleh sulur. Sulur-sulur itu menyala. Sesaat tubuh Malik berkedip bersamaan dengan tubuh Utari. Kini, di dalam sulur adalah tubuh Utari dan sulur itu memakan tubuh mengkilapnya. Sang ratu terperangah, ia terhempas karena kilauan cahaya yang sangat terang, lalu ia menghilang.
Malik berbaring di tanah di sebelahnya, melihat cahaya berkelap-kelip, dadanya sesak. Malik! Suara bergema di telinganya, namun ia telah tak sadarkan diri. Hujan turun membasahi tubuhnya di tanah yang membecek. ***

Malik membaca koran pagi ini. Berita utama menyebutkan bahwa ada kebakaran hutan yang menyebabkan asap membuat beberapa pegawai pembangunan proyek tak sadarkan diri, namun seluruh pegawai berhasil diselamatkan. Berita itu menyebutkan kebakaran padam karena turunnya hujan pertama di awal musim hujan yang datang.
Malik menyeruput kopinya, ia bersyukur dirinya tidak gila. Wanita tercintanya yang telah lama mati, menjadi peri yang telah menyelamatkan dirinya. Hutan itu hingga saat iniselalu berselimut kabut. Para peneliti bilang,munculnya kabut itu disebabkan tanah bekas terbakaryangterkena hujan. Namun Malik tahu, hutan itu berkabut jika ada niat jahat yang mengancam bahaya makhluk di hutan itu. Arwah Utari akan selalu melindungi hutan itu dengan kabutnya. Sampai sekarang, hutan itu tetap berkabut, karena memang masih banyak pikiran-pikiran jahat orang serakah yang ingin melahap hutan itu.
***

Popular Posts