Monday, May 19, 2014

Resensi: The Cuckoo's Calling - Robert Galbraith



Penulis            : Robert Galbraith (alias)
Alih bahasa     : Siska Yuanita
Halaman         : 520
Penerbit          : Gramedia Pustaka Utama

Buku ini berkisah tentang seorang detektif partikelir bernama Cormoran Strike yang mendapatkan kasus untuk menyelidiki sebab kematian seorang model cantik yang sedang melejit karirnya, Lula Landry. Semua berita dan polisi telah meyakinkan bahwa kejadiannya sebagai perilaku bunuh diri yang dilakukan Lula dengan menjatuhkan diri ke tanah bersalju dari balkon apartemennya di Mayfair, London. Sudah 3 bulan kasus tersebut berlalu, namun tiba-tiba kakak tiri Lula, John Bristow mendatangi detektif Strike karena ia tidak memercayai hal tersebut dan merasa bahwa Lula dibunuh oleh seseorang. Pada awalnya, Strike tidak tertarik dengan kasus tersebut, namun karena ternyata Lula dan Bristow merupakan saudara dari temn baiknya dulu, Charlie, kakak Lula yang saat kecil mati terjatuh dari jurang saat naik sepeda, demi itulah Strike bersedia menyelidiki kasus ini. Selain itu, Strike juga sedang mengalami masalah ekonomi, dan tawaran mendapatkan bayaran dobel menariknya dalam menyelidiki kasus ini.

Tokoh Cormoran Strike merupakan seorang veteran yang mengalami luka fisik maupun batin. Ia telah kehilangan satu kakinya dalam peperangan dan harus berjalan pada kaki palsu sehari-harinya. Mantan pacarnya yang ternyata seseorang yang mengalami gangguan psikologis, masih menghantuinya. Ia tahu, semakin lama ia mendalami kasus ini, semakin dalam ia hanyut dalam masa lalu, dan semakin banyak bahaya yang mengancam nyawanya. Dalam menyelidiki kasus Lula, Strike mempekerjakan seorang sekretaris temporer bernama Robin, wanita muda yang sudah bertunangan. Awalnya ia tidak yakin dengan keputusannya menyewa sekretaris, karena pegawainya yang dulu hanya mampu bertahan sebentar. Namun, semakin jauh ia bekerja dengan Robin, Strike semakin terpukau dengan kemampuannya yang efektif dan idenya yang brilian. Bersama Robin, ia sangat terbantu dalam penyelidikan kasus ini, dan bahkan Robin pernah menyelamatkan nyawanya. Namun, jangan berharap hubungan mereka akan berlanjut ke perselingkuhan.

Setelah berkarir dalam dunia fiksi fantasi dengan novel Harry Potter, J.K Rowling melebarkan sayapnya dengan berkarya dengan buku bertema isu politik, konflik, dan perebutan kekuasaan, yaitu The Casual Vacancy. Tidak berhenti sampai ke sana, J.K Rowling kemudian menelurkan kembali karyanya, kali ini dengan tema kriminal dan detektif, namun diterbitkan dengan nama alias Robert Galbraith pada tahun 2013.

Dengan menciptakan seorang tokoh baru yang menyandingi Sherlock Holmes ataupun Hercule Poirot, Rowling sekali lagi berhasil keluar dari Zona amannya sebagai penulis fantasi. Kemampuan J.K. Rowling dalam merangkai kalimat dan menggambarkan perasaan, suasanya, kejadian, memang sudah tidak diragukan lagi. Rowling dapat membuat novel yang terdiri dari 5 bagian ini terasa sangat hidup dengan perasaan-perasaan kompleks manusia dan adegan yang menegangkan. Ketika sudah sampai pada suatu kesimpulan tertentu, ada perasaan tersendiri yang membuat pembaca terkagum. Bagi yang mungkin kurang menyukai crime fiction, mungkin akan merasa bosan dengan alurnya yang sangat lambat, karena Rowling begitu detail dalam menjelaskan adegan dan menghubungkan cerita.

J.K Rowling dapat menggambarkan perasaan, emosi dan pikiran dengan sunggh memukau. Pembaca dapat mendalami sifat manusia dan perasaannya. Kesakitan batin  Strike akibat dicampakkan oleh tunangannya, pikiran Strike tentang masalah keuangan, gambaran kejadian pembunuhan, pernyataan saksi-saksi kasus, semua dapat digambarkan dengan mengesankan. Sama dengan novel sebelumnya, Harry Potter dan juga The Casual Vacancy, pembaca dapat melihat karakter J.K. Rowling yang detail dan out of the box dalam setiap kalimatnya.

Porti dan Buku Kesayangannya

“Arrrghh.” Porti berteriak ketika ia terjatuh di lubang kecil di tanah basah itu. Sudah dua hari dia tersesat dan terpisah dari keluarga dan teman-temannya. Ia sangat sedih, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia sendirian, satu-satunya yang bersamanya sekarang adalah sebuah buku. Buku kesayangannya. Porti mengangkat wajahnya akibat terjerembab di tanah, melihat bukunya tergeletak beberapa senti di depannya. Porti membangkitkan dirinya, membersihkan tanah di badannya lalu berjalan ke arah bukunya.  “Pangeran dan Bunga yang Indah.” Buku yang tergeletak di tanah itu menunjukkan judul dan nama penulisnya. Jika dilihat, Porti hanya sepersekian bagian dari buku itu. Namun nyatanya Porti dapat mengangkat buku besar itu.

Porti melanjutkan perjalanannya yang dingin, karena habis hujan. ”Aku di mana?” Ia tidak tahu di mana ia berada setelah hanyut di sungai dengan berperahu buku kesayangannya, ia terdampar di ... entah daerah apa. Selama berjalan, tiba-tiba Porti merasakan kehangatan. “Dari mana asalnya kehangatan ini?” Porti merasa harus mencari tempat itu, karena ia sudah sangat kedinginan. Ia mengikuti rasa hangat di tubuhnya, hingga ia menemui sebuah tembok besar. Di tengah-tengah tembok tersebut ada sebuah jendela yang memancarkan cahaya oranye. “Hmm, sepertinya dari sana asal kehangatan itu, tapi aku tidak bisa meraihnya, jendela itu terlalu tinggi.” Ia mencari cara, namun fikirannya tidak fokus karena terlalu kedinginan.
Tiba-tiba, seekor tikus berlari melesat melewati kutu tersebut di sepanjang tembok. Porti kaget dan berusaha memanggil tikus tersebut untuk meminta pertolongan.
“Hei, tunggu, bisakah kau membawaku masuk?” Namun tikus itu terlalu cepat, dan tidak melihat Porti, mungkin karena Porti sangat kecil. Porti melihat Tikus itu berbelok di ujung tembok, dan tidak terdengar lagi. Porti hanya bisa menghela dapas dan memeluki tubuhnya sendiri dengan tangannya. Ia duduk di atas bukunya  di bawah jendela hangat itu. “Paling tidak, di sini sedikit hangat..”
“Psst, hei, hei, di sini!” Porti hampir tertidur ketika ia mendengar suara panggilan itu. Ternyata itu adalah tikus tadi. Sekarang tikus itu berada di kusen jendela di atasnya. “Hei, apakah kau mau masuk?” seru tikus itu kepada Porti.
“Iya, tolong angkat aku, aku kedinginan di sini,” kata Porti
“Ini, peganglah tali ini.” Tikus itu mengulurkan tali dan menahannya dengan giginya.
Si kutu kemudian mengaitkan dirinya pada tali tersebut, sambil memegang bukunya. “Sekarang kau bisa mengangkat aku.” Seru si kutu. Si tikus menariknya hingga si kutu sampai ke kusen jendela.
“Hei, terima kasih, aku kira tadi kau tidak mendengarku memanggilmu” ujar si Kutu.
“Kau terlalu kecil, aku tidak melihatmu, kukira aku mendengar suara hantu, jadi aku terus berlari. Lalu, aku mengecek ke jendela, ternyata ada kau, dan bukumu, ya ampun bukumu berat sekali, aku hampir menyerah mengangkatmu.”
“Hehe, maaf, terima kasih sudah mengangkatku. Jadi, ini tempat apa?” tanya Porti sambil memandang berkeliling penuh heran.
“Ini perpustakaan, kawan,” kata si tikus.
“Perpustakaan? Apa itu?” tanya Porti.
“Tempat para manusia membaca banyak buku. Tapi aku tidak beduli itu, aku hanya suka makan, kau tahu.” Tikus itu menunjukkan perutnya yang buncit.            “Terkadang manusia itu suka membawa makanan, dan terkadang makanannya jatuh atau tertinggal, aku suka memakannya. Aneh, manusia memasang larangan untuk makan di depan pintu perpustakaan ini, kukira aku kehilangan harapan untuk hidup di sini, tapi ternyata para manusia itu membawa makanan setiap hari.” cerita si tikus.
“Manusia ya..aku pernah lihat mereka, salah satunya ada di bukuku ini.”
            “Hmm.. jadi tentang apa bukumu itu?”
“Ya, kau tahu, aku ini seorang kutu. Dulu, aku dan ibuku menemukan buku ini di sebuah tempat pembuangann. Ibuku kemudian sering membacakan  cerita dalam buku ini kepadaku. Aku senang sekali dengan ceritanya. Ceritanya mengenai seorang pangeran yang memiliki.....”
 “Ya, ya, ya. Aku lapar, kau kutinggal dulu ya. Perpustakaan ini sangat luas hanya untuk menampung dirimu yang kecil. Oh iya, namaku Mets.” Tiba-tiba tikus itu memotong cerita Porti.
“Senang bertemu denganmu, Mets. Namaku Porti.”
“Porti, kau kutinggal dulu ya.”
Porti menjelajahi perpustakaan itu. Ruangan itu besar, dengan banyak rak-rak buku berjejer sepanjang ruangan. Sisa ruangan itu diisi dengan bangku dan meja, dengan perapian di ujung ruangan itu.
“Oh, jadi dari situ cahaya oranye dan kehangatan ini,” ujar si kutu ketika melihat perapian yang menyala hangat. Ia menyeberangi ruangan, ia ingin mencari tempat tidur yang nyaman untuknya.
“Wow, buku ini memang berat ternyata.” Porti mulai lelah, hingga malam itu ia telah mengarungi tanah yang tidak ia kenal hingga ia bisa sampai ke tempat hangat yang pertama. Di depan perapian itu ada sebuah karpet, dan Porti bersiap untuk tidur di atas karpet tersebut di depan perapian hangat.
“Meong!” Tiba-tiba seekor kucing melompat di atas Porti. Porti terkejut dan takut hingga menutup mukanya. Saat ia membuka wajahnya, kucing itu sedang menatapnya dengan garang.
"Sedang apa kau di sini?” tanya kucing itu dengan galak.
"A..aku Porti, aku tersesat, si tikus Mets yang membawaku ke dalam sini."
"Ah tikus itu, sudah kubilang jangan membawa orang asing masuk. Apalagi kau itu kutu! Hey, awas kau jika kau dan teman-temanmu menggangguku lagi. Tidak enak harus menggaruk dan menjilati badanku terus," kata kucing itu dengan marah.
"Aku tidak pernah mengganggumu, aku baru pertama kali ke sini."
"Kalau begitu bilang ke teman-temanmu! Untung saja manusia baik di perpustakaan ini mau memandikanku sehingga tubuhku tidak gatal lagi," ujar si kucing dengan geram.
"Apa kau sudah lama tinggal di sini? Siapa namamu?” tanya Porti.
“Aku Mika. Aku sudah lama di sini, jadi kau jangan main-main ya. Dulu sebelum tikus Mets itu ada di sini, ada seekor tikus lagi yang suka sekali mengganggu dan membuat suara bising. Lalu, kutelan saja dia, hahaha.”
“Baiklah kalau begitu. Hmm, di sini hangat, keberatankah jika aku tinggal tidur? Sepertinya aku akan tidur di depan perapian ini. Aku dan bukuku sudah menempuh perjalanan yang jauh,” kata Porti sambil mengantuk
“Di sini? Enak saja! Di sini tempat tidur ku, di depan perapian yang hangat. Ya. Aku keberatan, jika kau tidur, di sini.  Jadi, pergilah, aku ingin tidur, di sini,” kata Mika dengan sinis.
Porti tidak bisa melawannya, ia terlalu kecil. Bisa-bisa ia diinjak oleh Mika. Mika pun sepertinya tidak berkeberatan menginjak Porti. Dengan bingung dan sedih, Porti berjalan mencari tempat lain untuk ia tidur di dalam perpustakaan itu. Si kucing Mika sudah berbaring di atas karpet hangat.
Di dekat perapian, terdapat meja-meja kayu yang biasanya digunakan manusia untuk membaca. Porti menuju ke salah satu meja tersebut. Walaupun kecil, ia dapat melompat jauh dan tinggi. Ia melompat ke atas kursi disamping meja tersebut, dan melompat lagi ke meja baca tersebut, dan ia masih membawa bukunya di atas kepalanya. Lalu ia menjatuhkan bukunya di atas meja tersebut.
“Nah, di sini cukup enak. Aku juga bisa melihat lebih luas perpustakaan ini. Perapian, meja baca, rak buku, pintu masuk, ah itu dia tanda larangan manusia yang dikatakan oleh Mets. Mungkin aku akan segera tidur di sini saja.” Porti meregangkan otot-ototnya lalu tidur di atas bukunya. Sampul bukunya yang unik sedikit seperti bahan beludru membuatnya nyaman tidur di atasnya. Ketika Porti hampir terlelap, matanya yang setengah tertutup melihat sebuah bayangan mendekat kepadanya. Namun ia terlalu mengantuk..
“Halo!” Sesuatu memanggilnya dan Porti langsung membelalak dan terbangun kaget.
“Si..siapa kamu?” Porti bertanya, antara mengantuk dan kaget.
“Aku Ramon, ketua para rayap di sini. Bung, maaf, tapi tadi bunyi gedebuk bukumu mengganggu kami tidur. Lebih baik kau pindah dari sini.”
“Kalian tinggal di mana?” tanya Porti.
“Di laci meja di bawahmu, bung. Kami banyak sekali, aku takut jika kau tidak pindah, saudara-saudaraku akan keluar semua dan memakanmu, meskipun..yah kau tidak enak di makan, kau tahulah maksudku,” jelas si kutu.
“Baiklah, aku mengerti. Tapi aku lelah sekali, aku dan bukuku sudah berjalan jauh, kau tahu bagian mana dari perpustakaan ini yang bisa aku tiduri dengan nyaman?”
“Lihatlah sekelilingmu, perpustakaan ini luas, mungkin kau bisa tidur di salah satu rak, lagipula bukumu itu lebih pantas berada di sana.”
“Aku mengerti, tapi bukuku ini spesial, aku tidak akan membiarkannya bersama buku-buku lain.”
“Ya, terserah kau saja, aku hanya takut kau membangunkan saudara-saudaraku.”
Ramon menutup pembicaraan tersebut dan kembali ke laci meja. Porti melompat turun dari meja kayu itu dan berjalan ke barisan rak buku yang dikatakan oleh Ramon. Ia berjalan, berjalan, memikirkan rak buku mana yang lebih baik ia naiki. Hingga ia sampai pada barisan rak buku paling akhir. Porti memilih rak buku tersebut dan melompati hingga dibagian rak keempat dari bawah. Dalam rak tersebut ada banyak buku namun ada bagian yang kosong sehingga Porti dan bukunya dapat masuk ke salah satu rak tersebut.
“Akhirnya, aku bisa tidur sekarang, di sini juga lumayan pemandangannya, lebih tinggi daripada di meja rayap itu.” Porti pun mengambil posisi seperti tadi ia hampir tertidur di rak tersebut, namun tiba-tiba..
“Selamat malam!” seru suara dari dekat Porti.
Porti tersentak kaget. Di hadapannya kini ada laba-laba besar berawrna hitam dan menyeramkan.
“Ah, tidak! Jangan makan aku!” seru Porti sambil melindungi wajahnya dengan tangannya yang kecil.
“Makan? Oh tidak, aku sudah kenyang, lagipula aku tidak akan memakan kamu. Dari mana asalmu?” tanya si laba-laba.
“Dari...tidak tahu, aku juga tidak tahu ini di mana. Aku sudah terlalu lelah, aku dan bukuku sudah berjalan jauh, bisakah aku tidur sekarang?”
“Nampaknya kau sangat menyayangi bukumu ya?” tebak si laba-laba dengan nada bijak.
“Tentu, cerita di buku ini sangat bagus dan aku suka membacanya ketika.... hoaaahhmm.. ketika aku ingin membaca,” cerita Porti, sambil mengantuk.
“Baiklah, namaku Edward. Berhati-hatilah, jangan bangun kesiangan, karena jika sudah pagi, manusia-manusia itu sudah akan menelusuri setiap rak buku di sini.”
“Namaku Porti. Tentu saja, Edward... aku.. sudah terbiasa bangun, hoaaaahm.... pagi-pagi sekali,” kata Porti, setengah tidak mendengarkan karena sudah setengah tertidur. “Selamat malam,” Porti mengakhiri percakapan malam ini. Ia tertidur di dekat bukunya, dan Edward si laba-laba tidur di jaringnya dengan posisi terbalik di sudut atas rak tersebut.
Porti tertidur dengan nyenyak. Dalam mimpinya, ia bermimpi tentang bukunya. Porti saat ini sedang menjadi seorang pangeran. Pangeran itu memiliki istana dengan halaman yang luas. Namun, selama ini tak ada satupun bunga yang tumbuh di halaman tersebut. Suatu hari, ketika pangeran terbangun di pagi hari dan berjalan-jalan di halaman, ia melihat ada setangkai bunga tumbuh dari halamannya. Ia amat senang karena bunga itu adalah bunga pertama dan satu-satunya yang tumbuh di halaman tersebut. Ia merawatnya selalu, menyiraminya dan memupukinya.
Beberapa hari kemudian seorang gadis lewat di depan halaman rumahnya. Gadis itu melihat sang pangeran sedang merawat bunganya. Lalu gadis itupun menghampiri sang Pangeran.
“Permisi.. bunga yang indah..” ucap si gadis.
“Ya, tentu, ini bunga pertamaku, aku merawatnya setiap hari,” kata pangeran, sedikit terkaget karena tiba-tiba ada orang yang datang.
“Aku juga memiliki satu bunga di halamanku. Hanya satu. Maukah kau memberikan bunga itu kepadaku? Agar bunga itu bisa berkembang biak.”
“Apa? Tentu saja tidak! Ini bungaku satu-satunya. Sekarang, pergi saja kamu!” seru sang pangeran dengan galak.
Gadis itu terdiam, merasa sedih, lalu ia keluar dari halaman sang pangeran. Beberapa hari kemudian, gadis itu kembali lagi ke halaman istana pangeran dan lagi-lagi melihat pangeran sedang merawat bunganya. Gadis itu meminta lagi kepada Pangeran agar memberikan bunganya. Tetapi pangeran masih tidak mau.
“Tidak! Tidak! Ini bunga kesayanganku, aku tidak akan memberikannya kepada siapapun!”
Beberapa hari kemudian gadis itu datang lagi meminta hal yang sama, dan pangeran masih bersikeras. Hari berganti hari, gadis itu tetap datang dan datang lagi. Pada akhirnya, pangeran pun luluh terhadap permintaan gadis tersebut yang sudah sering sekali ke halaman rumahnya meminta bunga padanya.
“Baiklah, akan kuberikan bungaku padamu, tapi suatu saat aku akan mengunjungi halamanmu agar aku bisa melihat bungaku lagi.”
Gadis itu senang sekali dan berterima aksih kepada sang pangeran, ia membawa bunga itu ke halaman istananyanya, dan menanamnya disamping bunganya yang juga cuma satu-satunya. Beberapa hari kemudian, di halaman si gadis tersebut tumbuhlah satu bunga baru. Semakin hari, semakin banyak bunga yang tumbuh di halamannya dan pada akhirnya memenuhi halamannya.
Pada suatu hari, pangeran berkunjung ke rumahnya untuk menengok kembali bunganya. Alangkah kagetnya ia ketika melihat bunga yang sangat banyak di halamannya. Bunganya telah berkembang biak dan menjadi banyak dan indah. Pangeran terharu dan meneteskan air matanya. Gadis itu tersenyum kepada pangeran, gadis itu mengatakan terima kasih atas pemberian bunganya. Pangeran itu tersenyum ia yang kemudian berterima kasih kepada gadis, karena mengajarkannya arti memberi. Akhirnya sang gadis memberikan sebagian bunganya kepada pangeran, dan pangeran menanamnya di halamannya. Halamannya pun menjadi halaman paling cantik seantero kerajaan tersebut.

Porti terbangun dari tidurnya. “Hoaaahm... selamat pagi! Selamat pagi, Edward!”
Edward menjawab, “Selamat pagi juga Porti, pagi yang indah.”
“Begitu indah, lelahku hilang, sekarang aku dan bukuku dapat meneruskan perjalananku.”
Porti melihat ke samping badannya tempat ia mengingat menyimpan bukunya, namun buku itu sudah tidak ada. Porti kemudian panik.
“Edward! Edward! Bukuku hilang, bukuku hilang! Apa kau melihat bukuku?”
“Tidak, Porti, dari semalam aku bergantung di sini sambil tertidur.”
“Oh tidak, tidak, ini tidak mungkin terjadi, Edward!” kata Porti, panik.
“Tenang, Porti. Kemungkinan bukumu sedang dibaca oleh manusia.”
“Apa? Manusia? Oh tidak, jangan sampai manusia itu merusak bukuku!”
“Manusia hanya membacanya. Ya..mungkin ada manusia yang sedikit kasar dengan buku sehingga ada beberapa bagian yang disobek, tapi tenang saja.”
“Bagaimana aku bisa tenang? Aku kehilangan bukuku, Edward! Di mana aku bisa mencarinya?”
“Coba kau cari di meja membaca, biasanya manusia mengambil buku lalu menmbaca di situ.” Kata Edward, berusaha memberikan ide.
Porti pun melompat turun dari rak buku. Ia berlari ke arah meja-meja membaca, yang ia sempat bersinggah untuk tidur di atasnya. Porti berharap rayap-rayap itu tidak ada di sana. Ia naik ke salah satu meja yang tidak ditempati oleh manusia. Ia melihat ke meja-meja sekitarnya. Akhirnya ia melihat bukunya sedang dibaca oleh seorang gadis. Gadis itu terpaku membaca bukunya. Porti mencoba untuk mengambil buku itu dengan mencari kesempatan. Ia sudah bersiap di dekat bukunya bersiap mengambilnya. Sang gadis tiba-tiba menoleh ke belakang, teman perempuannya menghampirinya, dan ia berbicara dengan temannya itu. Inilah saatnya, dalam hati Porti. Porti mendorong bukunya ke pinggir meja hingga akhirnya terjatuh. Namun sayang sekali, buku itu jatuh tepat menimpa Mika si kucing yang ternyata sedang tidur di samping meja.
 “Meow! Hei, kutu, kurang ajar kau menjatuhkan bukumu di kepalaku. Akan kubunuh kau!”
“Maafkan aku, aku tidak sengaja, sungguh, jangan bunuh aku!” sahut Porti yang masih berada di atas meja.
“Turun kau sekarang! Atau aku hancurkan saja buku ini!” ancam Mika.
Sesaat sebelum si Mika menerkam buku Porti, sang gadis sadar bahwa bukunya terjatuh. Gadis itu segera mengambil buku menjauh dari Mika lalu malah mengelus-elus si kucing. Mika pun diam saja, namun masih menyimpan dendam.
“Lihat saja nanti balasanku, kutu!” seru Mika.
Gadis meneruskan membaca sebentar, tersenyum, lalu menutup bukunya. Temannya tadi sudah berjalan menuju pintu keluar perpustakaan. Kemudian gadis itu mengejar temannya tersebut sambil membawa bukunya. Porti melihat bukunya semakin menjauh, ia semakin merasa sedih.
“Oh tidak, aku tidak akan melihat bukuku lagi.” Kata Porti dengan sedih.
Tiba-tiba Edward si laba-laba menghampiri Porti di meja baca. “Tidak apa-apa Porti. Kau tahu, buku itu mungkin penting bagimu dan membuatmu senang, namun jika kau berbagi dengan yang lain, orang lain juga akan merasakan kesenangan tersebut, dan itu menyenangkan, Porti. Coba perhatikan..”
Gadis itu memberikan bukunya pada temannya, ia berbicara sedikit mengenai buku itu. Temannya terlihat senang, ia tersenyum dan kemudian memeluk temannya. Kemudian teman sang gadis itu pergi membawa buku Porti. Buku itu akhirnya dipinjam oleh teman gadis tersebut.
 “Lihat, kau bisa menebar kebaikan dengan merelakan bukumu, Porti. Lihatlah senyuman pada manusia itu, senyuman bahagia, kau memberikan manfaat kepada mereka, Porti.” Edward si laba-laba berkata dengan bijak.
Porti baru tersadar apa yang telah dilakukannya. Selama ini ia terlalu menyayangi bukunya sehingga ia tidak mau memberikan bukunya kepada siapapun. Ia pun berkata pada Edward. “Ya, Edward, sekarang aku tahu arti memberi. Seperti pangeran di dalam buku kesayanganku.

Syakira Rahma - Pramuda FLP 18

Saturday, May 17, 2014

Mendidik Anak dengan Cinta - Oleh Kak Seto

I'm so inspired today..
Hari ini pembekalan K2N UI yang ke tiga. Iya, saya coba-coba ikut yang kayak beginian, udah rencana dari tahun lalu :P
Dimulai dari pembekalan hari ini yang bertempat di Auditorium lt. 6 Perpustakaan Pusat UI. Saya duduk di samping teman saya, Hastin. Kemudian menengok ke bagian operator komputer. Mengernyitkan dahi sebentar. Lalu aku berkata pada temanku, "eh itu mirip kak Seto deh.." Dengan spontan temanku menyeru "Itu emang kak Seto!" Aku kaget, dan berbinar-binar. Akhirnya aku bisa ketemu kak Seto secara langsung. Beliau saat itu sedang menyiapkan presentasinya.

Presentasi dimulai dengan iringan dari keyboardist yang mengiringi presentasi kak Seto. Pada dasarnya, materi hari ini mengajarkan mengenai cara mendidik anak yang baik. Yaitu dengan Cinta. Sebenarnya materi ini sangat awam sekali dan sudah saya apatkan juga di Psikologi, namun karena pembawaan kak Seto yang sangat baik, materi ini jadi berkesan sekali. Kami diajarkan mengenai anti kekerasan dalam mendidik anak. Kemudian mengajar kreatif karena anak-anak lebih akan tertarik dengan pelajaran yang menarik. Selain itu juga cara mengidentifikasi dan mengembangkan potensi anak.

Anak itu dilahirkan dengan karakteristik berbeda-beda. Namun, sayangnya, pendidikan di Indonesia saat ini menyamaratakan penilaian kemamuan anak. Kak Seto memberikan ilustrasi, ada si burung yang dia jago dalam pelajaran terbang, tapi saat disuruh lari, ia kalah. Si kuda sangat jago dalam pelajaran berlari, tapi ketika disuruh berenang, ia kalah. Hal ini mencerminkan anak-anak. Semua anak itu cerdas. Itu yang selalu dikatakan oleh kak Seto. Namun kecerdasan itu terlihat dari berbagai aspek. Kecerdasan tidak hanya dilihat dari tingginya nilai matematika dan IPA. Kecerdasan harus dilihat dengan spektrum yang lebih luas. Ada kecerdasan motorik seperti olahraga, menari, kecerdasan musikal, kecerdasan bahasa, dan sebagainya. Coba saja liat link ini: Theories of Multiple Intelligence milik Gardner.

Menyayangi sistem pendidikan yang ada, orang tua dan guru kurang peka terhadap anak. Anak yang dengan metode belajar auditori, dianggap gak fokus, anak dengan metode belajar kinestetik, dianggap nakal. Semua anak dianggap harus belajar dengan cara visual, duduk diam, menghadap papan tulis, dan mendengarkan guru. Kak Seto bilang, bahwa ini adalah pelanggaran hak anak.

Semakin terjun ke dalam dunia globalisasi pun sistem pendidikan (guru dan kurikulum) semakin tidak berpihak pada anak. Hal ini sebenarnya kekerasan bagi anak. Pasalnya, anak dari kecil sudah disekolahkan, umur 6 tahun dipaksa masuk SD. Mata pelajaran tidak penting masuk ke sekolah, belum lagi metodenya semua menghafal. Belum lagi setelah pulang sekolah anak disuruh les ini itu. Waktu bermain anak menjadi kurang. Padahal bermain adalah hak anak. Pada akhirnya, kak Seto menjelaskan bahwa banyak anak yang menganggap sekolah adalah penjara. Anak terpaksa ke sekolah, terpaksa belajar. Bahkan sampai takut ke sekolah, alias school phobia.


Hal ini berdampak buruk bagi anak. Anak menjadi gelisah, hilang minat belajar belajar, agresif, bahkan ingin bunuh diri! Belum lagi pelarian anak ke hal-hal aneh seperti narkoba atau seks bebas. Sistem pendidikan yang dibanggakan ini malah yang menjerumuskan tunas-tunas bangsa dalam kesengsaraan. Meski begitu, orang dewasa pasti akan selalu menyalahkan anak. Dibilang anaknya bermasalah, karena dianggap bodoh, tidak mau belajar. Anak malah dimarahi, dipukul, dihukum. 

Memarahi anak. Itu juga yang masih merupakan kesalahan besar dari orangtua dan guru. Memarahi, mencubit kecil, memukul, walaupun tidak terlalu menyakitkan, itu merupakan planggaran hak anak lho. Banyak cara mendidik anak tanpa kekerasan. "Menghadapi anak itu harus menjadi artis serba bisa." Bisa dengan menyanyi, beracting, menari, bermain. Bukan dengan memarahi dan memukul. Ada orangtua yang beralasan "Tapi, dengan saya mengerasi anak saya, terbukti anak saya bisa menjadi bupati." Kak Seto bilang, "Mungkin jika tidak dengan dikeraskan, anak ibu bisa jadi presiden." Intinya, anak akan tumbuh lebih baik tanpa kekerasan, tanpa dimarahi, tanpa dihukum. Bahkan ayat Al-qur'an mengenai anak yang dipukul jika tidak sholat saja dikaji ulang dan maksudnya adalah lebih ditekan, didorong, bukan disiksa.

Pada dasarnya tidak ada anak yang nakal. Anak itu memang lebih aktif, lebih ingin tahu, ingin mencoba banyak hal. Keaktifan dan kecerewetan anak itu yang dianggap orang dewasa sebagai "nakal". Padahal anak itu pintar! Justru anak yang bodoh itu yang diam saja, tidak bisa berpikir, mungkin karena ada masalah keterbelakangan mental atau masalah sejenisnya. Jangan berasumsi bahwa mengerasi anak dengan memarahi, memukul adalah bentuk rasa sayang orangtua pada anak. Itu malah yang membuat anak tidak berkembang dengan baik. Rasa sayang itu adalah memberikan lingkungan terbaik untuk anak agar bisa berkembang.

Dari semua yang telah dijabarkan, maka dari itu perlu adanya kepekaan yang tinggi bagi orangtua dan pihak sekolah. Anak itu pada dasarnya cerdas. Anak itu pada dasarnya mau belajar. Tinggal bagaimana lingkungannya mendukung untuk mengembangkannya. Orang dewasa harus mampu mengidentifikasi apa minat dan bakat anak. Jangan paksa anak menekuni apa yang tidak diminatinya, tidak dikuasainya. Didik anak dengan cinta, bukan dengan kekerasan. Mungkin orangtua tau banyak karena sudah berpengalaman, tapi anak tidak bisa hanya diberitahu begitu saja. Gak ngerti. Ajak anak dalam aktivitas yang menyenangkan. Anak akan menganggap belajar menjadi esuatu yang menyenangkan, dan  less threathening (tidak mengancam).

Well, walaupun gak dapat kesempatan bertanya dan mendapatkan novel pertama kak Seto, alhamdulillah kayaknya nambah satu ide buat skiripsi, hehe. Insyaallah setelah K2N ini aku juga pingin magang di KPAI atau Komnas PA, atau yang berbau anak-anak hehe. Aamiin.

Calon Peserta K2N UI 2014 bersama Kak Seto Mulyadi
Tidak ada anak yang nakal!
Semua anak itu Cerdas!
Semua anak mau belajar! 

Didiklah anak dengan Cinta :)

Monday, May 5, 2014

Resensi - Eric Weiner: the Geography of Bliss


Judul              : The Geography of Bliss
Penulis            : Eric Weiner
Penerjemah    : M. Rudi Atmoko
Penerbit (edisi Indonesia)     : Qanita 
Cetakan I       : November 2011 
Tebal              : 512 hlm


"Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu bukanlah perjalanku."
Paul Thereoux (dalam Eric Weiner, the Geography of Bliss)

Buku ini mengisahkan mengenai seorang penggerutu yang melakukan perjalanan keliling dunia untuk mencari negara paling bahagia. Rasa penasaran terhadap negara apa yang menjadi kesimpulannya bisa menjadi pertimbangan anda dalam membeli buku ini. Begitu juga dengan sinopsis yang berada di belakang buku yang menuliskan bahwa isi buku ini merupakan campuran dari psikologi, sains dan humor, mungkin akan menarik bagi anda yang tertarik pada 3 bidang tersebut. Eric merupakan seorang jurnalis yang bekerja di NPR (National Public Radio), dan pernah bekerja di New York Times. Nama belakangnya, Weiner, yang seirama dengan kata 'pengeluh' atau ‘perengek’ (whiner) dalam bahasa Inggris, cocok dengan karakternya yang ia ceritakan sendiri di dalam buku ini.

Perjalanan pertama Eric di awali dari Belanda, di mana kebahagiaan adalah angka. Di sana Eric menemukan data statistik mengenai tingkat kebahagiaan negara-negara di seluruh dunia dan dengan database tersebut ia menjelajahi negara lain. Apakah dengan berpikir tentang mencari kebahagiaan justru membuat orang tidak bahagia? Karena Di Thailand, kebahagiaan adalah tidak berpikir. Apakah kebahagiaan merupakan pencapaian paling akhir? Karena seseorang yang Eric temukan di India mengatakan bahwa Cinta merupakan hal yang lebih jauh dan besar daripada kebahagiaan karena cinta dapat membawa anda pada kebahagiaan itu sendiri. Tapi, terkadang cinta juga dapat menyakitkan. Hal yang kontradiktif. Bagi India, kebahagiaan adalah kontradiksi. Bagaimana dengan agama? Dengan bergantung pada Dewa atau Tuhan apakah membuat diri kita aman dan merasa bahagia? Tapi beberapa orang mengatakan kebahagiaan bukan dari Tuhan, melainkan adalah hasil dari usaha kita sendiri. Seperti uang, yang merupakan hasil dari usaha manusia. Apakah uang yang dapat membuat manusia bahagia? Sebuah tulisan pada rambu yang Eric baca saat ia berada di Bhutan berbunyi:
Ketika pohon terakhir ditebang
Ketika sungai terakhir dikosongkan
Ketika ikan terakhir ditangkap
Barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang.

Apakah keberhasilan membuat anda bahagia? Karena menurut orang Islandia, justru kegagalan adalah kebahagiaan. Karena jika anda bebas untuk gagal, maka anda bebas untuk mencoba, dan itu bisa membuat anda bahagia. Sayangnya tidak banyak orang menyukai kegagalan. Kebanyakan orang mencari kesempurnaan. Padahal, memberi ruang sedikit pada ketidaksempurnaan mungkin akan membuat anda lebih bahagia. Perjalan Eric ke beberapa negara dalam buku ini ia akhiri di negaranya sendiri, pulang, ke Amerika, di mana kebahagiaan adalah rumah.

Wawasan yang luas, observasi yang tajam, penggambaran yang hidup dan realistis, juga pembahasaan yang kritis dan seru akan membuat pembaca terus merasa terkesan di setiap lembaran bukunya. Erik bisa membuat sarkasme menjadi sesuatu yang lucu namun mengena. Pengeluh (lebih ke pengritik), namun ia bisa mengambil banyak insight dari setiap perjalanannya, dan membuat penyimpulan yang apik. Tak heran jika buku ini termasuk New York Times Best Seller, karena bisa membuat pembaca mengangguk-anggukkan kepalanya. Walaupun begitu, bagi anda yang kurang tertarik dengan sejarah atau fakta, akan sedikit bosan dengan informasi yang kaya mengenai kebudayaan, tradisi dan semacamnya. Buku ini memicu pembacanya utnuk berpikir kritis, dan bisa memunculkan diskusi panjang seperti, apakah anda bahagia? Apa yang membuat anda bahagia? Di mana tempat yang paling bahagaia menurut anda? Apakah Indonesia merupakan negara yang bahagia? Apa kebahagiaan menurut orang Indonesia? Semua pertanyaan ini bisa muncul setiap membaca lembaran buku ini. 

Pada akhirnya, mungkin memang tidak ada tempat yang disebut 'paling membahagiakan'. Kebahagiaan suatu negara kembali lagi tergantung masyarakatnya menganggapnya. Misalnya unsur Karbon, karbon adalah unsur dasar dari kehidupan. Disusun demikian rupa, karbon  bisa menjadi air, di ubah lagi, ia bisa menjadi intan, ataupun arang. “Penataanlah yang membedakan”. Begitu pula dengan kebahagiaan sebuah bangsa, adalah tergantung bagaimana masyarakat 'menyusunnya'. "Surga bagi seseorang bisa jadi neraka bagi orang lain". Ketika bagi seseorang, menikmati produk coklat sudah membuatnya bahagia, anda tidak bisa men-judge sebaliknya terhadap dia. Kata tokoh psikologi, Mihalyi Csikszentmihalyi, "Ketika seseorang berkata dia sangat bahagia, maka orang lain tidak berhak mengabaikan pernyataannya atau menafsirkan sebaliknya".

Popular Posts